Tumbuh di Barisan Belakang / Growing in the Back Row
------
Catatan: Tulisan ini adalah tulisan dalam katalog Jakarta Biennale 2015. Sengaja saya siar ulang di sini untuk membantu keterbacaannya yang lebih luas (dan pengarsipan, tentu saja). Ini bagian kecil dari proses yang saya alami sejak awal tahun lalu selama bekerja dengan teman-teman tim manajemen dan produksi Jakarta Biennale 2015. Potongan lain yang tidak sempat saya ceritakan, melainkan dalam beberapa foto yang saya pinjam dari tim dokumentasi JB 2015. Sumber tulisan ini dari http://bit.ly/2eJZdj0. Versi Inggrisnya tersedia di bagian bawah. Selamat membaca!
------
DALAM satu kesempatan pada pertengahan
dasawarsa 1990-an, saya masuk ke sebuah pameran seni lukis di Makassar. Sambil
melihat-lihat, muncul satu pertanyaan di kepala saya ketika itu, “Mungkinkah
ada jalan masuk ke dunia seni rupa tanpa harus punya keterampilan menggambar,
melukis, atau semacam itu?”
Pertanyaan itu tertimbun dalam benak
saya selama sekitar dua dekade, dan baru muncul lagi pada September 2015,
setelah dipicu satu pertanyaan lain dalam suatu sesi wawancara dengan sebuah
media. Tanya-jawab itu sehubungan dengan tugas saya sebagai salah seorang dari
enam kurator yang bekerja untuk Jakarta Biennale (JB) 2015.
Kami, tim yang kemudian disebut “kurator
muda”, sejak Januari 2015 bekerja sambil belajar dalam program Curators
Lab yang digawangi oleh Charles Esche, kurator Van Abbemuseum di
Eindhoven, Belanda. Menurut proyeksi manajemen JB, cara ini bakal memudahkan
transfer pengetahuan karena Charles, sebagai kurator, telah memiliki pengalaman
terjun di sejumlah bienial yang berwibawa seperti SĂŁo Paolo Biennale dan
Istanbul Biennale. Pada praktiknya, memang Curators Lab menjadi model belajar
yang langsung menceburkan kami sebagai kurator muda ke dalam lautan manajemen
sebuah bienial.
Kata “muda” sebenarnya menjelaskan
tentang betapa hijaunya kami dalam menyusuri rimba seni rupa Indonesia. Tapi
sebagian orang—terutama teman-teman saya—menanggapinya dari segi “usia”.
Sehingga, sudah jelas, kata itu kemudian menjadi “word of the year” bagi
manusia yang sudah empat kali ganti KTP seperti saya.
Sepanjang proses kerja kami hingga
menjelang pembukaan JB 2015, saya menggarisbawahi beberapa hal penting
sehubungan dengan pengalaman saya dalam Curators Lab.
Pertama, seni
tidak bisa berdiri sendirian—sebagaimana kata Charles, “Hanya seni tidaklah
cukup.” Saya kian yakin bahwa dibutuhkan perspektif dari banyak disiplin
pengetahuan lainnya dalam menanggapi atau memecahkan persoalan-persoalan
manusia lewat dunia seni rupa.
Latar para anggota tim kurator sendiri sudah cukup mencerminkan keberagaman tersebut. Dari kami, hanya Benny yang seniman. Saya lebih banyak bekerja di dunia literatur, Asep sedang menempuh pascasarjana kekuratoran, Irma bekerja di sebuah lembaga budaya asing, Riksa menangani manajemen laboratorium seni bernama ArtLab di ruangrupa, Putra tipikal “anak sekolahan” yang pendiam dan rajin—ia baru mendapat beasiswa pascasarjana ke luar negeri—dan Charles, dari yang saya dengar, malah berlatar pendidikan politik.
Kedua, sistem
manajemen. Saya menjadi anggota dari sebuah kelompok kerja berisi sedemikian
banyak orang yang mempersiapkan acara berskala internasional yang melibatkan
tujuh puluhan seniman dari dalam dan luar negeri—belum lagi pihak-pihak yang
menyokong pendanaan acara ini. Estimasi kasar saya, demi JB 2015 yang digelar
selama dua bulan, dibutuhkan waktu kurang-lebih setahun bagi para kurator untuk
belajar “merapatkan shaf” di belakang imam Charles Esche. Tatkala masuk separuh
akhir masa persiapan, oleh manajemen, saya diperkenalkan ke beberapa orang yang
baru saya kenal tapi sebenarnya sudah lama bekerja untuk Jakarta Biennale 2015,
semisal Shera Rindra M. Pringgodigdo di bagian komunikasi, Bagasworo
Aryaningtyas alias Komeng yang bertanggungjawab soal lokasi proyek komunitas,
dan Adi Setiawan alias Digel yang mengurus lokasi mural. Saya juga
berkorespondensi dengan dua atau tiga orang lain yang rupanya merupakan awak
redaksi situs jakartabiennale.net.
Memang, awalnya saya punya secuil
gambaran tentang kerja kuratorial berdasarkan sekurang-kurangnya dua hal: (1)
pengalaman singkat yang berkaitan dengan inisiatif penulisan dan beberapa
peristiwa seni rupa mutakhir Makassar bersama kawan-kawan di sana dalam satu
dekade terakhir; (2) perkiraan pola dan model kerja berdasarkan gambaran yang
saya peroleh dari lokakarya kuratorial di ruangrupa, Jakarta, pada 2009 silam.
Namun, Jakarta Biennale 2015 yang berskala kolosal mengharuskan saya
berkonsentrasi penuh serta menghemat tenaga agar daya tahan tetap tinggi dan
daya jelajah tetap luas. Mungkin yang paling mirip dengan tugas semacam ini
adalah pekerjaan memilah dan menyunting naskah yang sudah sepuluh tahunan saya
lakoni di lini penerbitan Komunitas Ininnawa dan Tanahindie.
Ketiga,
saya jadi memiliki peluang mempersandingkan dinamika seni rupa di Makassar
dengan di Banda Aceh, Jakarta, dan Surabaya. Dari sini, saya melihat bahwa
perbandingan itu bisa dilakukan pada jaringan antarpelaku, dinamika wacana, dan
geliat seni rupa yang dimungkinkan oleh ruang publikasi serta dukungan dari
pihak lain. Jelasnya, tampak bahwa Curators Lab membuka peluang saling belajar
antarkota (asal kurator) perihal melihat dan merespons persoalan-persoalan di
masing-masing kota. Satu hal yang tak kalah penting juga bagi saya adalah soal keempat:
merayakan kemenangan-kemenangan kecil warga. Mereka sejak lama dikalahkan
melalui struktur politik dan sosial. Hanya seni dan sastra yang memberi peluang
sangat besar untuk menyuarakan harapan mereka, dalam usaha mereka merebut
kedaulatan hidup. Seni dan sastra bisa menjadi tenaga yang mendaur daya warga
dalam setiap upaya keras mereka menjaga kehidupan lingkungan dan manusia yang
ada di dalamnya.
Charles telah benar-benar mengajari
bagaimana cara membuka diri terhadap banyak kemungkinan perspektif dan peluang
bekerja. Dalam suatu percakapan kami bertiga, saya, Irma, dan Charles, dalam
perjalanan pulang dari Kampung Pisang, saya sampai bertanya “Mengapa kamu
kelihatan begitu santai (selama bersama kami dan ketika bertemu dengan yang
lainnya)?” Ia hanya menjawab singkat “Why not?” lalu tertawa. Jawaban
itu saya kira mencerminkan betapa kayanya pengalaman hidup lelaki kelahiran
Skotlandia ini.
Begitu tugas terkait JB 2015 selesai
pada triwulan pertama 2016, tentu waktunya pula bagi kami untuk kembali ke
habitat kami masing-masing. Saya percaya, apa yang ditunjukkan Charles melalui
caranya bekerja kepada kami yang “lucu-lucu” ini bagaikan garis horizon yang
harus dikejar.
Setidaknya, kami dan Charles adalah
pemandangan yang serasi. Serupa beberapa pohon yang tumbuh berderet.
Mungkin kami barulah pohon tanpa buah yang berdaun rimbun semata. Sementara
Charles adalah pohon berdedaunan hijau yang penuh kilauan buah yang kuning
meranum di ujung tangkai. Begitu JB 2015 usai, buah-buah tersebut akan
menjatuhkan diri ke tanah. Lalu tiba giliran kami belajar untuk menjulurkan
akar sendiri ke segala penjuru, agar pohon kami dapat berbuah ranum di tengah
iklim yang keras.
Dengan
begitu, apa yang saya dan teman-teman di Makassar lakukan selama ini (semoga
sampai di kemudian hari) membuat kami lebih baik dalam mengelola hal-hal yang
kami hadapi kelak.[]
-------
Growing in the Back Row
In the mid 1990s, I went
to a painting exhibition in Makassar, which prompted a question in
my head: “Can we access the world of art without having the skill to draw,
paint, and such?”
The question was pushed to
the backburner for about two decades, and only reappeared in september 2015,
after another question popped up in a media interview, which was part of my
duty as one of the six curators working for the Jakarta Biennale (JB) 2015.
The JB 2015 curatorial
team implements a different system from previous editions of the biennale.
apart from myself, the JB 2015 management invited curators from three other
cities: Asep Topan (Jakarta), Benny Wicaksono (Surabaya), Irma Chantily
(Jakarta), Putra Hidayatullah (Banda Aceh) and Riksa Afiaty (Jakarta, Bandung).
We, the team is called
‘the young curators’, have been working since January 2015 while learning a
thing or two in the Curators lab program led by Charles esche, the curator of
the Van Abbemuseum in Eindhoven, the Netherlands. Based on the JB management’s
projection, the system would ease the transfer of knowledge because Charles has
the experience of working in respected biennales, such as the SĂŁo Paolo
Biennale and the Istanbul Biennale. In practice, the Curators lab is a learning
method that pushes us young curators to jump into the ocean of managing a
biennale.
The adjective ‘young’
serves as an indication of how green we are in the process of walking through
the thick forest of Indonesian art. But some people, particularly my friends,
see it as an issue of age. And thus, ‘young’ became the ‘word of the year’ for
me who have renewed my ID card for four times.
Throughout our working
process toward the opening of the JB 2015, I underline several important points
related to my experience in the Curators lab.
First, art cannot stand on
its own, as pointed out by Charles, how “art alone is not enough.” I have become
more convinced that we need more perspectives from many other disciplines to
respond to or to solve human problems through the world of art.
The background of the
curators’ team is quite diverse. Of the team members, only Benny is an artist.
I work mostly in the field of literature, asep is a post-graduate student on
curatorship, Irma works at a foreign cultural center, riksa manages an art
laboratory called artlab at ruangrupa, Putra is a typical quiet and diligent
‘student’—he just received a post-graduate scholarship from another country—and
Charles, from what I heard, studied political science.
Second, the management
system. I became a member of a working group that consists of so many people
who prepare an international-scale event that involves about 70 artists from
inside and outside the country, not to mention the sponsors funding this event.
Based on my rough estimation, for a two-month event, it requires at least one
year for the curators to learn to ‘straighten the rows’ behind the leader Charles
esche. Halfway through the end of the preparation, I was introduced by the
management to several other people who have actually worked for a long time for
the Jakarta Biennale 2015. They include shera rindra M. Pringgodigdo from the
communication department, Bagasworo Aryaningtyas or Komeng who is responsible
for community project locations, and Adi Setiawan a.k.a. Digel who takes care
of the locations of murals. I also correspond with two or three other people in
charge with the editorial of the website www.jakartabiennale.net.
At first, I only had a
little grasp of what curatorial work entails, based on two things: (1) a short
stint related to writing initiatives and several art events in Makassar with my
friends in the past decade; (2) working pattern and model estimation based on
the curatorial workshop at ruangrupa, Jakarta, in 2009. The magnitude of
the Jakarta Biennale 2015, however, forced me to fully concentrate and reserve
my energy to maintain my endurance and exploration power. The closest thing to
it that I have ever experienced is probably curating and editing manuscripts
for the Ininnawa Community and Tanahindie publishers in the past ten years.
Third, I have the
opportunity to compare the dynamics of the art scene in Makassar with those in
Banda aceh, Jakarta and surabaya. The comparison is based on the practitioners’
network, discourse dynamics, and the growth of the art scene enabled by
publication space and support from other parties. Clearly, Curators lab
provides the opportunity for the curators to learn from each other’s city in
order to observe and respond to the issues in their own place.
Last but not least,
fourth: celebrating locals’ small victories. People have been defeated by the
political and social structures for so long. Only art and literature give a
huge opportunity to voice their hopes, in their attempts for sovereignty. art
and literature can become the energy to boost people’s power to maintain the
environment and the humans in it.
We recognize this
situation when accompanying Charles to meet a number of locals and find out
their strategies to face the reality of life. They are the residents of densely
populated Kampung Pisang in Maccini sombala, Tamalate district, southern
Makassar. The kampong is prone to eviction from time to time and its fate
depends on the dialog between the city administration and the residents. The
area, which is formed from the mound dumped from a lake construction in GMTDC
(Gowa-Makassar Tourism Development Corporation), is getting narrower. People
share and rearrange the settlement, including by building houses with a
combination of new and used materials. For me, such creativity needs to be
celebrated as a small victory amid the limitations.
Nevertheless, as you read
my explanation so far, don’t imagine that my fellow curators and I carried out
rigid and lengthy assignments, or stuck in a confined space while exchanging
ideas. We actually laughed a lot. learning with Charles is so much fun for me
because he has a gesture of an ‘old friend’. (Or maybe since we know next to
nothing, it was easier for Charles to direct us?)
Charles really taught us
to open up to so many possibilities, perspectives and opportunities. In a
conversation with Charles and Irma, on the way back from Kampung Pisang, I
asked him, “Why did you look so relaxed (with us and the others)?” to which he
replied, “Why not?” and laughed. It showed just how rich the life experience of
the scottish man is.
Once our task is completed
in the first quarter of 2016, it would be time for each of us to go back to our
habitat. I believe the way that Charles has shown us, ‘the fledglings’, is the
horizon to pursue.
At least Charles and us
were a sight to behold, like a row of neatly arranged trees. Maybe we are the
shady trees that have yet to bear fruits, while Charles is a lush green tree
with dangling, ripe produce. Once the JB 2015 is over, the fruits would fall on
the ground. It would be our turn to learn to expand our roots into various
directions, to enable our trees to produce fruits amid such harsh climate.
Therefore, whatever my
friends and I in Makassar do so far (and hopefully in the years to come), it
will make us grow to be better in managing what we will face later on.[]
(Source: http://bit.ly/2epmPbz)
Komentar
Posting Komentar