Makassar Biennale 2017: Medan Perluas Wacana Maritim


DENGAN menetapkan tema abadi “Maritim”, Makassar Biennale (MB) 2017 seperti membebaskan diri dari beban yang selama ini ditanggungnya—sebagai ajang seni yang digelar di kota yang menjadi artefak hidup dunia kemaritiman Nusantara.

Biennale menjadi peristiwa sekaligus situs penting penanda geliat perkembangan kebudayaan di satu wilayah. Tidak cuma itu, MB pun mengarahkan dirinya sebagai ruang pertukaran pengetahuan khalayak umum dengan modus seni. 

Membicarakan catatan sejarah kawasan ini, seperti masa keemasan Kerajaan Gowa-Tallo, salah satu kerajaan maritim terbesar yang berkembang mulai awal abad ke-16, kita bisa membayangkan betapa temuan benda penting sangat dapat kita katakan hubungan antara seni dan pengetahuan. 

Ketika Raja Tumapa’risi Kallonna memerintah masa abad itu, ia membuat jabatan non-teritorial pertama di kerajaan ini bernama sabarana (syahbandar) yang disandang oleh Daeng Pamatte. Kronik Gowa melekatkan penemu aksara lontara’ ke sosok ini, meski kemungkinan besar sudah ada seratusan tahun sebelumnya. Namun pada masanya pertama kali negara menggunakan aksara tersebut. Masa setelahnya, Tunipallangga (1548-1565), inovasi tombak dan perisai yang lebih ringan dan produksi bubuk mesiu serta pembuatan peluru untuk senapan pun berlangsung (Gibson, 197:2009). Masa setelahnya, hidup dua orang cerdik pandai berwatak kosmopolit, Karaeng Pattingalloang dan Amanna Gappa. 

Pattingalloang, figur di balik kejayaan Gowa-Tallo kala itu, seorang ahli diplomasi, dan konsolidator ulung yang tergila-gila pada ilmu pengetahuan—memesan barang langka antara lain bola dunia, peta dunia, hingga teropong bintang (Lombard dalam Arsuka, 2000). Sementara Amanna Gappa, seorang matoa Wajo di Kerajaan Gowa-Tallo, menjadi perumus undang-undang kelautan yang tersohor, Ade’ Allopi-Loping Ribicaranna Pa’balu’e atau Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa (O. L. Tobing, 1961). 

Dari catatan sejarah tadi dapat dikatakan bahwa nilai-nilai kreativitas, sebagai tempias dari pertukaran pengetahuan antar-manusia berbeda latar dan asal, mendorong kemajuan dan kematangan peradaban di wilayah tertentu, melalui dunia maritim. 

Dengan demikian, seni yang bersenyawa dengan kemaritiman tidak bisa lagi dibatasi dengan sekadar merujuk pada bentuk visual tertentu. Yang juga sangat pokok adalah ‘nalar’-nya, perihal bagaimana isu kemaritiman ditempatkan sebagai bingkai dalam proses kreatif seniman agar tidak terjebak pada eksotisme bentuk visual. 

Melalui beberapa sesi seminar dan lokakarya, MB berharap, beragam kemungkinan dalam isu kemaritiman sebagai sebentuk ekosistem akan dieksplorasi dan dibincangkan.

Mengangkat kemaritiman sebagai tema besar kegiatan kiranya juga menjadi daya tawar tersendiri, di samping karena posisi Makassar sebagai kota pelabuhan yang tumbuh pada dua masa perdagangan utama di Nusantara, yakni perdagangan rempah-rempah dan kurun perdagangan dan industri teripang yang menjadikan bandar ini sebagai pusatnya. Hingga kini pun, Makassar sebagai bandar menjadi pintu penghubung yang strategis dalam konteks Indonesia mutakhir. 

Dengan keuntungan absolut inilah yang hendaknya menjadikan isu maritim sebagai ciri Makassar Biennale, terutama persentuhan dengan isu lain. Membicarakan maritim tak ubahnya membincangkan persoalan-persoalan hidup manusia yang saling berkaitan. Perhelatan ini memimpikan dirinya sebagai wadah besar yang ikut memberi saran (bahkan solusi) yang bertalian dengan hidup manusia yang lebih baik.

Pokok pikiran ini juga beririsan dengan salah satu visi dari kabinet Jokowi-JK yang hendak mengembalikan marwah Indonesia sebagai poros maritim dunia. Titik berangkatnya juga serupa, yakni kegelisahan atas sikap manusia Indonesia yang condong memunggungi lautan dan dipingit di pedalaman selama beratus tahun. Padahal, 160 juta penduduk Indonesia (60 persen) berdiam di kawasan pesisir. Perhelatan ini diharapkan dapat menjadi salah satu langkah penting untuk mewujudkan visi tersebut.

SAYA setuju dengan kurator MB 2017, Nirwan Arsuka, MB beruntung punya pembanding yang dekat dan bisa jadi rujukan (Jakarta Biennale dan Biennale Jogja). Tapi tantangan lain menunggu. “Makassar harus berjuang mendefinisikan dirinya, merumuskan karakternya agar tak menjadi sekadar pengekor dari biennale yang sudah ada, dan bisa menyumbangkan sesuatu yang memperkaya khasanah yang ada.” 

Namun, selama tiga pekan, MB berharap itu berlangsung lebih jauh. Dinamika dan cara pikir, berdialog, dan metode karya di dalam ajang ini tidak semata ingin menempatkan istilah ‘maritim’ menjadi sebatas ‘perairan laut’. Yang tak kalah penting bagaimana melihat, memikirkan, dan menggelutinya sebagai sebentuk ikatan dan ekosistem lingkungan hidup—dari hulu hingga hilir. Dari dalam akar hingga ujung atas pucuk daun. 

Hanya dengan begitu, seni menjadi cara pandang yang penting melihat persoalan di sekitar kita. Bisa menjelmakan bukti: seni sebagai jalan keluar.[]

*Diterbitkan di kolom Opini Tribun Timur, 8 November 2017.


Komentar

Postingan Populer