Jawaban yang Datang Delapan Tahun Kemudian
LANTARAN ikut sibuk mengurus hal lain, saya tidak
mendengar langsung bagaimana jawaban Kees Buijs atas pertanyaan soal bagaimana ia memisahkan
antara pekerjaannya sebagai pendeta dan ketertarikannya terhadap masyarakat
Mamasa sebagai subjek penelitiannya, yang tertuang dalam buku Kuasa Berkat dari Belantara dan Langit:
Struktur dan Transformasi Agama Orang Toraja di Mamasa, Sulawesi Barat
(Ininnawa - KITLV Jakarta, 2009) yang diluncurkan dan dibincangkan pada acara Satu Dekade Komunitas Ininnawa pada April 2010 .
Kees Buijs melakukan pendampingan gereja-gereja di daerah
Mamasa pada rentang akhir 1970-an hingga awal 1980-an, kawasan yang sedekade lebih lalu menjadi kabupaten sendiri di Sulawesi
Barat. Dalam pengantarnya di Kuasa Berkat
dari Belantara dan Langit, Buijs menulis, “Yang saya lakukan saat itu adalah
mengumpulkan informasi dengan rekaman dan catatan-catatan.” Atas dorongan dosen
Antropologi Universitas Utrecht, H. Van Dijk yang berkunjung ke sana pada 1990
(dengan membawa mahasiswa yang tertarik mengadakan penelitian di Mamasa), ia
kemudian mengikuti beberapa pelatihan di Universitas Leiden, yang membuatnya
terkesan pada kuliah Reimar Schefold tentang antropologi simbolis.
Sejak berkenalan dengan Kees Buijs sejak 2009, saya lalu
membaca penjelasan tentang Mamasa, daerah belum pernah saya datangi itu, ketika
catatan ini saya tulis. Karya-karya doktor antropologi ini menyediakan bagi kita
pengetahuan dan keterangan awal bagaimana masyarakat Mamasa menjalani agamanya,
serta memberi pemahaman soal daerah yang tidak dikenal banyak
orang, yang bisa melahirkan stereotipe tentang masyarakat dan wilayah
“terpencil” tertentu, seperti masyarakat Toraja, yang pernah diceritakan Kathleen Adams dalam bukunya Arts as a
Politic: Re-crafting Identities,
Tourism, and Power in Tana Toraja, Indonesia (University of Hawaii Press,
2006), “Orang-orang dekat tuan rumah saya menyarankan, saya harus tinggal di Jawa atau ke Bali. Toraja
dulu dikenal tempat ilmu hitam dan tradisi pengayauan [penggal kepala]
dipraktikkan,” tulis Kathleen (hl. 2). Buijs juga ceritakan detail soal ritual penggal kepala ini dalam bukunya.
DALAM buku pertama, Kuasa
Berkat dari Belantara dan Langit, Kees Buijs menjelaskan secara umum
tentang dua berkat yang selalu diharapkan oleh penganut aluk to yolo, harfiahnya agama
lama atau agama tradisional yang (disebut-sebut sudah ada sebelum pengaruh Hindu-Buddha) dipraktikkan komunal maupun secara
personal oleh masyarakat setempat. Dua kuasa berkat itu berasal dari langit dan
belantara, konsep berpasangan dalam kosmologi orang Toraja Mamasa yang
dibutuhkan untuk kehidupan.
Dengan mengutip Stöhr (1979), Buijs menyebut konsep ini
merupakan jejak kebudayaan tua Indonesia, yaitu polarisasi dan cara berpikir
khas Austronesia, seperti perbedaan antara dunia atas dan dunia bawah,
laki-laki dan perempuan, kiri dan kanan, hulu dan muara sungai. Kendati berbeda
sifat, keduanya memiliki kesepadanan sekaligus sifat yang bertentangan (hl. 52).
Langit dalam kosmologi orang Toraja Mamasa merupakan asal
dari dewa luluhur yang mengutus keturunannya, para bangsawan, untuk mendiami bumi.
Kelak, bila tiba saatnya meninggal, mereka harus kembali ke langit dan membali dewata (menjadi dewa-dewa). Namun
selama menjalani hidup di bumi, para ‘anak-anak’ dewa ini memerlukan penunjang
hidup seperti makanan (dalam hal ini, semisal, padi) yang hanya tumbuh bila
langit dan belantara memberi berkat. Kerjasama antara kuasa ‘atas’ (langit) dan
‘bawah’ (bumi) menghasilkan kesuburan di bumi.
USAI penerbitan buku pertamanya, Kees Buijs masih
bolak-balik ke Mamasa. Bila ia berencana ke Indonesia, mungkin selalu ke
Mamasa, lelaki berkebangsaan Belanda ini akan mengabari saya lewat surat
elektronik, SMS, atau belakangan lewat Whatssap. Kami janjian bersua, satu dua
kali di hotel tempatnya menginap di Makassar atau mampir sejenak di tempat saya
di Kampung Buku demi satu dua keperluan, terutama terkait bukunya—juga membaca
sejenak buku Ibu Kathleen Adams.
Pada 2016, kami lalu intens berkomunikasi lantaran rencana
penerbitan buku keduanya yang kemudian diberi judul Agama Pribadi dan Magi di Mamasa, Sulawesi Barat: Mencari Kuasa Berkat
dari Dunia Dewa-dewa (Ininnawa, Juli 2017). Kalau dalam buku pertama Buijs jelaskan
agama orang Toraja Mamasa lebih umum, dalam buku kedua ini ia uraikan bagian-bagian
agama dan kebudayaan tradisional orang Toraja yang makin ditinggalkan dan dilupakan.
Kees mengarahkan penjelasannya pada penghayatan agama secara pribadi yang
berpusat di dapur setiap rumah, terutama di dalam rumah tradisional.
Bahkan, yang tak kalah menarik, di dalam Agama Pribadi dan Magi, Kees menelisik
dan mengurai bagaimana berkat dewa-dewa demi kehidupan juga diperoleh dari
rangkaian kata magis dan batu istimewa nan bertuah—yang diperoleh dengan
berbagai cara dan di waktu-waktu khusus, yang dipercaya ketika bumi dan langit
sedang ‘bersatu’.
Hal yang menarik pula bahwa dalam buku ini Buijs kelahiran
1944 ini merinci bagaimana perubahan agama lama di Mamasa lantaran dua
momentum, yakni masuknya Kristen di Mamasa tatkala Belanda memerintah daerah tersebut
pada 1907 dan pada 2002 ketika Mamasa menjadi kabupaten sendiri, situasi yang
memungkinkan masyarakat Muslim bertumbuh cepat (hl. 23).
Kuasa berkat dari langit dan belantara pada pertumbuhan
padi, sebagai makanan utama ‘anak-anak’ dewata,
berubah tatkala cara sebar benih langsung ke sawah yang dilakukan masyarakat
Mamasa hingga tahun 1970 berganti ketika padi yang cepat tumbuh masuk ke daerah
itu, jenis bibit yang membutuhkan persemaian (hl. 106). Bibit yang tersedia
pada masa Revolusi Hijau (green
revolution) itu memungkinkan panen tidak serentak lagi, yang membawa
pengaruh pada toso’bok [pendeta padi]
(hl. 107).
TIDAK cukup setahun, ketika masih proses persiapan cetak Agama Pribadi dan Magi, Kees Buijs
mengirim lagi naskah lain. Kali ini berurut, yakni versi Indonesia dan Inggris naskah
Tradisi Purba Rumah Toraja Mamasa: Banua
sebagai Pusat Kuasa Berkat dan Ancient
Traditions in Toraja Houses of Mamasa, West Sulawesi (Ininnawa, Mei 2018).
Usai memeriksa naskahnya sekaligus membaca Tradisi Purba Rumah Toraja Mamasa, saya
kian paham bagaimana harusnya memandang masyarakat Toraja Mamasa. Banyak hal menarik
di dalam buku ini, semisal saya jadi lebih mengerti bahwa saya tidak bisa lagi
menyamakan masyarakat Toraja Mamasa di Sulawesi Barat dan Toraja Sa’dan yang
ada di wilayah administrasi Sulawesi Selatan—yang dulunya saya pikir sama saja lantaran
kesamaan asal-usul dan keyakinan agama.
Mengapa demikian? Kees Buijs dalam Tradisi Purba Rumah Toraja Mamasa menjelaskan bagaimana perbedaan
makna tentang rumah tradisional banua
di Toraja Mamasa dan tongkonan di
Toraja Sa’dan, justru, dengan melihat bagian yang paling dalam satu rumah,
yakni dapur. Ia melacaknya dengan memulainya menceritakan siapa sebenarnya masyarakat
Toraja Mamasa. Dari situ, ia berpindah menceritakan dari mana asal sebenarnya bentuk
atap rumah berbentuk sadel kuda itu? Apakah merujuk ke bentuk perahu atau
tanduk kerbau?
DENGAN membaca ketiga bukunya itu, saya kemudian merasa
beruntung bahwa jawaban langsung Kees Buijs, ketika ia ditodong pertanyaan tentang
bagaimana memisahkan dua identitas dalam dirinya (pendeta dan antropolog) pada April
2010 lalu, bisa saya bayangkan dan pahami.
Setelah itu pula, kali ini, saya makin yakin: jawaban tidak selalu hadir
begitu pertanyaan terlontar. Jawaban bisa datang lekas, tapi kadang teramat baik
bila datang lebih lambat.[]
Komentar
Posting Komentar