Ziarah ke Danau Sidenreng

Sederhana saja cara saya melihat bagaimana Sidenreng Rappang (Sidrap) mutakhir. Cukup menyaksikan apa saja yang terjadi pada berlangsung 22-24 September 2018di suatu acara bernama Sidenreng Lake’s Fest. 
Bagian keramaian di Danau Sidenreng (foto: Anwar Jimpe Rachman)
Itu hanya nama baru—berbahasa Inggris. Warga Desa Mojong, perkampungan di pinggir utara Danau Sidenreng, tempat acara tahunan ini berlangsung, menyebutnya sebagai mappadendang, atraksi yang menampilkan sekelompok warga menumbuk lesung—berirama yang bersemangat, simbolisasi kesyukuran atas panen yang melimpah. Nama mappadendang untuk menyimpelkan serangkai acara yang biasanya berisi mattojang (berayun), maccera’ tappareng (selamatan dan melarung sesajian, harfiahnya ‘meneteskan darah hewan ke danau’), dan mabbala’ lopi (balap perahu dayung dan perahu bermesin).
Panitia mabbala' lopi mengawasi lomba (foto: Anwar Jimpe Rachman)
Banyak yang bilang, nama baru ini muncul karena kali ini disokong pemerintah kabupaten. Warga sekitarnyalah yang bahu-membahu untuk menggelarnya pada tahun-tahun sebelum 2018.

Sebelum dan sesudah disponsori pemerintah, jelas ada bedanya. Hadiah mabbala lopi: dulu televisi, sekarang sepeda motor. Sampai tahun sebelumnya, duga saya, hiasan umbul-umbul cuma yang polos berwarna; sekarang bendera-bendera penyemaraknya sudah bermerek—mulai motor sampai pupuk.

Sebenarnya, bagi saya, perjalanan ke Desa Mojong ini semacam ziarah. Saya dengar dari Bram, kawan di Tanahindie yang kebetulan sekampung, ada semangat dan upaya merawat sesuatu di Sidrap dalam waktu yang belum setahun. Gerakan yang juga melibatkan anak muda yang berkelindan dengan banyak hal, termasuk politik. Dalam kesan saya, gerakan orang muda itu sebagai ‘sesuatu yang terpaksa dilakukan’ karena beberapa hal genting, jelas bikin dada menghangat. Saya merasa ada harapan lagi.
Anak-anak mattojang (main ayunan) (foto: Anwar Jimpe Rachman)
Saya beberapa kali patah hati pada kampung sendiri. Saya meninggalkannya ketika harus berkuliah di Makassar. Keberangkatan saya ke Makassar pertengahan dasawarsa 1990 itu menyelamatkan saya dari masa suram di kolong rumah yang dipenuhi botol-botol miras dan hujan batu tawuran karena perang antar geng. Patah hati saya yang kedua datang beberapa tahun kemudian, begitu dengar kampung saya jadi pasar sabu-sabu. Ini patah hati saya yang terlama lantaran sudah berlangsung lebih satu dasawarsa.

Tapi namanya kampung, tak bisa saya mungkiri, lebih separuh diri saya terbuat dari bahan-bahan yang berasal dari sini. Saya yang lama tak pulang, jelas merindukan demikian banyak hal. Karenanya, semisal ditantang makan putu beras lengkap sambal tai boka-nya, saya dengan gagah berani menerimanya. Diseret seseorang untuk menuntaskan kangen pada kekasih, jelas siapa yang tak mau. Sebab itu saya menerima ajakan Bram.

Saya tumbuh dan besar di Rappang, ibu kota Sidrap di masa Belanda, yang berada dua puluhan kilometer di utara desa yang berada di Kecamatan Watang Sidenreng ini. Saya dengar pertama kali nama desa yang saya sambangi ini lewat lagu daerah “Kepala Mojong”, waktu mulai aktif ikut orkes kecapi di SMP pada penghujung dekade 1980. Kala itu pun saya belum tahu kalau itu nama satu kampung di Sidrap.

Dua malam satu hari berada di pinggir Danau Sidenreng, mengingatkan saya hikayat asal mula danau ini. Dalam cerita yang banyak beredar dalam teks, nama danau itu juga menjadi nama kerajaan. Kalangan yang “menemukannya” adalah orang-orang yang turun dari gunung lantaran ketidaksetujuan cara memerintah saudara mereka bernama La Maddaremmeng di wilayah Sangalla, yang kini termasuk daerah Toraja. Alkisah, orang-orang itu harus sidenreng/sirenreng atau ‘berpegangan tangan’ kala hendak mengambil air danau ini untuk minum.
Basri masih pakai TOA setiap tampil (foto: Anwar Jimpe Rachman)
PESTA ini dibuka 22 September malam di satu anjungan yang lebar, mungkin bisa muat empat atau lima lapangan futsal bila termasuk parkiran. Bintang-bintang terang di langit kemarau di atas danau yang selalu berair coklat ini (bisa juga Anda cek di Google Map). Angin lembab dan sejuk. Kerumunan tambah ramai. 

Festival dibuka pemukulan gong oleh Bupati. Luncuran kembang api menyusul. Ya, pembukaan acara yang kebanyakan. Tapi usai biduan bernama Tiara menyanyi, suara pemandu acara menyebut nama pemain kecapi Sabri dan kelompoknya, Empat Sekawan, bakal tampil. 

Segera lengkap ziarah saya! Sudah lama saya nantikan kesempatan menonton langsung bagaimana Sabri berceloteh seraya memetik kecapi.

Saya ke depan panggung. Sambil berdiri, saya sesekali terpingkal karena celetukan Sabri. Meski di panggung ada sound system modern lengkap, Sabri masih setia memakai pelantang TOA. 

Lawakan slapstick yang berbahasa daerah jelas hiburan yang nyata. Seketika pegal pinggang dan punggung duduk di sadel motor sepanjang 190-an kilometer dari Makassar ke pinggir danau ini, tumpas! Saya bahkan tahan berdiri menikmati pertunjukan Sabri dkk. Sesekali mengobrol dengan Hadi, kawan seangkatan di kampus yang kini staf Bappeda Sidrap, karena bertahun tak bersua. 

Setengah jam kemudian, badan menagih istirahat. Saya menepi cari dudukan. Eh, Sabri juga berhenti.

“Kita pamit, Syarifudding. Ini tidak seperti di kawinan atau aqiqah. Sudah tengah malam. Orang mungkin sudah pada mengantuk,” kata Sabri dalam bahasa Bugis.

Ternyata acara belum tutup. Bunyi organ tunggal membahana lagi. Suara biduan berkumandang lagi. 

Sabri mungkin kecewa. Saya kira, pertunjukan Sabri memang tidak cocok dimainkan di arena besar seperti ini. Penontonnya berjarak dan ‘jauh di bawah’. Basri butuh ruang intim, anugerah yang biasa didapatnya di hajatan warga, seperti aqiqah atau sunatan. Sabri perlu melihat wajah penonton yang terkekeh, tidak seperti di depan-pinggir panggung yang gelap itu. Kata seseorang keesokannya, setiap hajatan yang mengundang Empat Sekawan, penonton betah sampai dini hari bahkan hingga pagi. Belakangan saya tahu dari kerabat-kerabat panitia, waktu tampil Sabri sebenarnya tidak di tengah acara, melainkan di akhir. Pukul setengah dua belas, orang sudah bubar. 

Kami pulang. Kami melintasi alun-alun desa yang ada di depan gerbang lokasi pesta rakyat. Deretan lampu pasar malam masih terang. Para pedagang masih berjaga di jualannya. Sekelompok berisi (mungkin) lima orang masih menumbuk lesung yang sudah dua hari dua malam tanpa henti. 

Di atas mobil, seorang kawan menceritakan ruang utama rumah Uwak Ambo, pemimpin adat setempat, dipenuhi sesaji. Dia baru lihat persembahan sebanyak itu, katanya. Benar-benar penuh.

Kami istirahat. Pukul enam pagi harus ke sini lagi. Warga bersiap Maccera’ Tappareng

Uwak Ambo memimpin upacara maccera tappareng (foto: Anwar Jimpe Rachman)
MINGGU pagi yang cerah. Dua gendang berbalut kain putih ditabuh, diiringi instrumen bambu kattok-kattok. Uwak Ambo dan rombongan membawa beberapa rangkai sesaji (semuanya berisi beberapa sisir pisang, beberapa ikat daun sirih, beberapa buah pinang, beras ketan merah-putih-hitam-kuning [lambang api-air-tanah-angin], telur, benno [jagung kembang], kelapa muda, dan beberapa bungkusan putih—mungkin berisi uang) ke pinggir danau. 

Dua puluhan lebih perahu, beserta penumpangnya yang tak bisa lebih dari dua orang, menunggu ritual itu rampung. 

Uwak Ambo berkopiah hitam, baju lengan panjang hitam, dan sarung hitam. Kumis dan alisnya tebal. Ia tertunduk, berkomat-kamit. Ia tegakkan wajah lagi, mengambil tempurung kelapa berisi darah lalu diteteskan ke danau. Tetes-tetes merah segera bercampur ke air berlumpur danau. Ia sebarkan pula jagung kembang ke air—laku memberkati. Bungkusan putih lalu dilarung. 

Mesin perahu pun menyala. Sesaji lainnya siap dibawa ke bagian tengah danau. 

Tangan Uwak Ambo tiba-tiba melambai ke perahu-perahu yang nyalakan mesin dan sudah berangkat menuju tengah danau. Ada kabar bahwa Bupati mau ikut melarung. 

“Sudah di jalan masuk Mojong,” kata seorang panitia. 

Jalan yang dimaksud adalah ruas jalan beton sepanjang tujuh kilometer dari jalan poros Makassar-Luwu menuju Mojong, yang kabarnya baru juga selesai 2018. Lima belas menit kemudian Dollah Mando, sang bupati yang baru ditetapkan akhir Juli kemarin, sudah tampak. 

Pak Dollah buka sepatu dan gulung celana. Ia naik ke perahu lambat yang beratap—muat sampai delapan orang. Rombongan perahu meluncur kencang ke tengah. Muncul kabut air di belakang perahu-perahu itu. Saya yang berdiri di pinggir danau baru sadar kalau pemandangan itu berbeda dengan yang biasa saya lihat di perairan yang dalam. Kabut itu muncul karena baling-baling perahu tidak terbenam dalam. Danau Sidenreng memang danau dangkal. Hanya di musim hujan ia jadi dalam. Itu juga kalau ada air kiriman dari tetangganya, Danau Tempe. Permukaan anjungan beton yang berada empat meter di atas permukaan laut, kata Arlan—sepupu saya, tenggelam karena air kiriman danau di Wajo itu. Bahkan menyatu menjadi danau besar.[1]

Satu-dua jam setelah upacara melarung sesaji, Mabbala Lopi dimulai. Lomba dibuka dengan balap perahu dayung perempuan, kategori yang baru tahun ini diperlombakan. Setelah penyerahan hadiah, lomba mulai lagi sekisar pukul sepuluh. Pesertanya datang dari Sidrap dan kabupaten lain seperti Wajo, Soppeng, dan Bone. Banyak pesertanya. Wajar kalau lomba berakhir menjelang senja.
Umbul-umbul iklan di Sidenreng Lake's Fest (foto: Anwar Jimpe Rachman)
DESA Mojong terletak di pinggir utara Danau Sidenreng. Di sini terdapat pula Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Mojong—yang disebut belum lama dibangun. Hidung saya tak bertemu bau amis khas TPI. Ikan yang ada cuma bangkai ikan sapu-sapu yang tak seberapa, tergeletak begitu saja di sela-sela batu pinggir danau. Belakangan saya dapat ikan kecil sampai yang besar di perjamuan siang di anjungan.

Bila Anda melempar pandangan ke selatan, akan tampak Bulu Allakkuang yang dilatari gunung dan bukit yang menjajar ke timur. Bulu Allakkuang adalah gunung batu yang selama ini jadi sumber baku pembuatan kerajinan batu seperti batu ulek, batu nisan, sampai lesung. Gunung itu tampak memutih, tidak hijau sebagaimana gunung atau bukit kebanyakan. Itu karena pertambangan. Gunung yang diprediksi bakal hilang itu tak ayal menjadi topik bahasan di harian lokal Makassar beberapa waktu lalu. Mungkin hal ini pula yang perlu menjadi perhatian semua kalangan. 
Rumah-rumah mini di beberapa titik di Desa Mojong  (foto: Anwar Jimpe Rachman)
Di alun-alun Desa Mojong ada sebatang pohon tua. Di bawahnya terdapat beberapa makam, juga satu rumah kayu sebesar dua pos kamling. Serambinya membentang mengambil tiga perempat rumah itu. Sisanya satu bilik kecil. Model begini saya lihat juga di sebatang pohon besar yang tumbuh di pematang sawah di samping anjungan danau. Ukurannya saja yang lebih kecil, mungkin setengah meter bujur sangkar. Itu mengingatkan saya cerita dari banyak orang tentang Bulu Lowa di Amparita yang dipenuhi rumah seperti ini untuk dipakai menaruh persembahan.

Menurut warga, di waktu tertentu, rumah di alun-alun akan dipenuhi To Lotang dari Amparita yang ada di bagian selatan danau. Mereka datang potong hewan atau memboyong yang sudah jadi masakan. “Bisa sampai enam puluh mobil datang ke sini. Mereka memutar (lewat darat),” kata seorang lelaki sepuh setempat. 

Ingatan saya langsung terhubung ke ritual maccera tappareng tadi pagi. Saya menduga, itu salah satu jejak kebudayaan To Lotang, komunitas penganut kepercayaan animisme, yang berada di Amparita. Sesaji selengkap itu berbeda dengan ritual serupa yang saya saksikan langsung di beberapa tempat dengan persembahan yang lebih sederhana.


PESTA rakyat itu sudah selesai. Saya kembali ke Makasar dan suntuk dengan kerja-kerja sebagaimana biasanya. Namun, sesampai di meja kerja, ziarah itu terus mengetuk benak saya. Bisa menjadi sekadar pengingat kedatangan saya menjenguk sesuatu yang lama saya rindukan. Maka jadilah beberapa catatan saya melihat Sidrap dalam bentuk “dua hari”.

Pertama, pesta rakyat ini digelar tak lama setelah pergantian bupati Sidrap. Mungkin ini salah satu cara bupati yang terpilih dalam memindai deretan perihal yang menjadi tugasnya dalam lima tahun ini. 

Kedua, namun dalam pesta itu, salah satu iklan yang berkibar menyambut pengunjung adalah iklan pupuk. Sejak dulu, Sidrap menjadi salah satu wilayah lumbung padi Sulawesi Selatan, sekaligus menjadi tempat praktik masif penggunaan pestisida dan insektisida untuk ladang dan sawah. Yang pernah melintasi Sidrap menuju atau dari utara (Enrekang dan Toraja) atau timur laut (Wajo dan Luwu), pasti menyaksikan hamparan sawah di daerah ini yang hanya dibatasi gunung atau horizon. Semua orang perlu menahan diri untuk, setidaknya, mengurangi pemakaian zat-zat kimia untuk pertanian. Beri kesempatan tanah meremajakan diri. Kalau tidak, jangan heran kalau keluhan petani kisarannya kebanyakan pada makin banyak pupuk yang diperlukan untuk petak-petak sawah mereka. Tapi saya kira, Pak Dollah Mando adalah orang yang lebih paham karena latarnya sebagai petani dan penyuluh.
Bangkai ikan sapu-sapu di pinggir Danau Sidenreng (foto: Anwar Jimpe Rachman)
Di pinggiran danau itu juga tergeletak bangkai ikan sapu-sapu. Menurut seorang warga, ikan yang disebut nama setempat ikan tokek ini dua tahun terakhir muncul di danau ini. Bangkai itu adalah tangkapan sampingan nelayan. Warga setempat banyak yang enggan memakannya. Sisik dan kulitnya sangat tajam. Nelayan kesal karena jala mereka robek karena ikan ini. Jadi mereka mencampakkannya begitu saja.

“Ikan itu memakan ikan lain. Darahnya seperti darah manusia,” kata seorang nelayan, bergindik.

“Kata orang bahaya karena mengandung merkuri,” kata nelayan lain yang mengaku tahu itu dari tulisan. Ia juga ceritakan kalau ada peneliti sudah membawanya ke Makassar untuk disigi lebih lanjut.

Di atas Danau Sidenreng, orang-orang beradu cepat dalam lomba perahu. Namun di bawah permukaan air danau itu pula, nelayan bakal beradu cepat menangkap ikan dengan predator (ikan sapu-sapu). Perlu segera semua pihak membantu nelayan setempat agar mata pencaharian mereka tidak terganggu.

Ketiga, Bulu Allakkuang, gunung di bagian selatan danau itu sudah memutih, menelanjangkan batu-batunya. Orang-orang harus lekas berhenti mengikis gunung itu. Penambangan, di mana pun itu, hanya menguntungkan sesaat dan untuk segelintir orang saja. Bahayanya justru melanda semua orang. 
Bocah-bocah yang membaca dan menggambar di lapakan buku  (foto: Anwar Jimpe Rachman)
Keempat, di dalam festival ini pula hadir lapakan baca di ujung timur anjungan, lengkap dengan sekelompok bocah yang terus membaca dan belajar menggambar serta mewarnai. Saya harus hormat pada kawan seperti Juju dan Ilham yang mau berjaga di situ dan mendirikan rumah baca. Sayangnya, kita masih sibuk untuk menggempitakan pesta ini dengan suara musik yang nyaris tanpa jeda. Belum memberi kesempatan pada bagian ini untuk lebih diperkenalkan ke warga. Saya yakin, kalau pesta rakyat ini diadakan tahun mendatang, bagian-bagian seperti ini akan diberi tempat yang lebih leluasa.


SAYA pernah berkelakar, Sidrap lebih sejuk sekarang karena banyak kipas di sana. Itu cuma gempita saya menyambut pembangunan PLTB di Desa Mattirotasi, Watang Pulu. Bahagia rasanya bahwa pemerintah sudah mengupayakan sumber energi yang ramah lingkungan dan membuat contoh yang baik. Tersisa bagi kita untuk melanjutkan upaya dengan semangat yang serupa. 

Semoga patah hati saya sembuh. Sembuh lebih cepat!



[1]Keterangan ini bersesuai dengan hasil penelitian Anom. 1979, 1982 yang dikutip Ian Caldwell dan Malcolm Lillie “Laut Pedalaman Manuel Pinto: Menggunakan Teknik-teknik paleo-environmental bukti sejarah Sulawesi Selatan” dalam http://www.oxis.org/terjemahan/caldwell--lillie-2004.pdf, diakses pada 26 September 2018, 08:10 Wita.

Komentar

Postingan Populer