Bangku Belakang Si Beruang

Ada satu persamaan saya dengan Iwan Fals, terutama dalam lagu “Jendela Kelas Satu” (1983). Kami sama-sama duduk di bangku deretan belakang dengan jendela kelas yang tak ada kacanya. 

Kala SMA, saya selalu dicap sebagai anak nakal karena duduk di situ. Lebih parah lagi karena bangku itu ada di dalam kelas sosial, kelas yang selalu dianggap pilihan terakhir. Sempurnalah saya di mata mereka seperti kata Chairil Anwar, binatang jalang dari kumpulan terbuang.

Padahal kalau kelakuan, saya biasa saja. Pemberontakan saya masa itu lebih banyak pemberontakan yang senyap: tidak menenggak alkohol (untuk pergaulan), memakai sepatu biru (ketika wajib pakai sepatu hitam), dan baju putih polos tanpa lambang osis label lokasi sekolah. Bolos juga cuma ikut-ikutan. Bukan keputusan mandiri.

Saya sesadarnya memilih duduk di satu bangku paling belakang, terpencil, dan sendirian (untung kemudian saya dapat teman sebangku ketika kelas saya mendapat anak pindahan dari kota lain). Mungkin karena saya tipikal siswa yang tidak tahan mendengar ceramah guru. Saya sering gelisah. Pikiran saya selalu ada di luar kelas. Itu terbawa sampai kuliah; tidak punya daya tahan belajar cara formal, hal yang kemudian saya usahakan dan teman-teman di komunitas saya dengan mencari cara belajar yang lebih cocok.

Namun belajar bersama banyak orang, tidak pada satu orang (guru formal), membuat saya lebih bisa mengekspresikan diri dan dalam suasana yang lebih setara—ketimbang satu guru yang cenderung bisa ‘semena-mena’ apalagi di sekolah dulu. Mereka lebih berkuasa. Itu juga kayaknya yang mendorong saya mencari bangku SMA yang di belakang. 

Keadaan psikologis saya itu agaknya sama dengan kondisi yang dialami Baltazar, beruang kutub yang ditangkap di sekitar Kanada, yang kemudian menjadi koleksi kebun binatang di Valle Central, satu tempat di Amerika Latin. 

“Kadang aku malah berpikir jangan-jangan aku lebih bebas dalam kandangku ini dibanding orang-orang sekelilingku,” kata Baltazar dalam Kenang-kenangan Mengejutkan si Beruang Kutub, karya Claudio Orrego Vicuña, terbitan Marjin Kiri, November 2018.

Padahal sebelumnya, Baltazar amat benci kerangkeng itu. Namun selalu pula Baltazar coba redam pikiran-pikiran hendak-bebas dan menikmati hari-hari yang tanpa harapan bisa lepas dari penjara itu.

“Barangkali ada hikmahnya. Dengan cara itulah aku mengerti bahwa hanya dengan menjadi bebas kau bisa melayani mereka yang tersisih oleh ketidakadilan dari sesama mereka sendiri.”

Dalam novel tipis ini, lantaran kebebasan tubuh sudah tumpas di depan mata, maka waktu tampak tidak berarti. Demi sang masa, si beruang kemudian hanya menyebutnya dan menjadi kenangan bila teringat ‘hari-hari di hamparan salju kutub’. Yang jauh penuh makna adalah obrolan sang beruang, “Di sini aku masih menyimpan harapan agar dunia manusia tak sekeji yang terlihat. Apakah nyonya berbaju hitam itu, yang memberi makan burung-burung dan berbelas kasihan pada gadis cilik itu, cerminan dari Tuhan tanah ini?... Sejak hari itu, aku menyimpan harapan bahwa Tuhan manusia sama dengan Tuhan beruang.”

Sang beruang tidak tahu saja. Di Indonesia, tidak sesederhana itu adanya. Ada kaum yang merasa paling berhak atas ‘Tuhan manusia’. Rakusnya mereka mengklaim Tuhan untuk golongan sendiri sudah sampai tidak mau membagi tuhannya, bahkan terhadap seagama apalagi yang tidak. Bahkan mereka berani bunuh diri sebagai cara beragama. Namun si beruang pun tahu kalau golongan-golongan itu adalah orang-orang yang putus asa pada hidupnya. “Aku yakin tidak ada di antara kita yang pernah mendengar ada beruang bunuh diri. Buat apa, meninggalkan tantangan hidup keesokan harinya menjadi tak terselesaikan?”

Benar juga kata si beruang, kita perlu berpikir jangan-jangan yang tampak bebas itu justru yang terkungkung. Yang kelihatan banyak itu malah kaum yang tersiksa. Persis orang-orang yang duduk di bangku depan seperti tak punya waktu menoleh ke belakang karena harus patuh dan ‘tak bergerak seperti militer’ di depan guru. Sedang saya yang berada di belakang leluasa menertawai kakunya bahasa tubuh mereka para pebangku depan, lengkap dengan kecurangan-kecurangan mereka. 

Rasa-rasanya, saya dan Baltazar cuma beda bentuk badan.

Catatan: Terima kasih atas hadiah bukunya, Ronny Agustinus. Sehat dan bahagia selalu bersama Marjin Kiri!



Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer