Dua Halaman Rumah yang Menghadap ke Sungai

BEBERAPA rumah sudah kosong di Neiwan, satu dari delapan desa di Sanwan Township, sekisar seratus kilometer di selatan Kota Taipei, Taiwan. Bangunannya yang bertembok bata ekspos masih kokoh. Hanya kayu dan pintu kusam dan beberapa bagian termakan rayap sebagai penanda kalau sudah beberapa tahun tidak terurus. Sekisar lima belas rumah di desa ini melompong. Penghuninya pindah ke kota, seperti Kota Toufen dan kota lainnya di Taiwan. 

Hampir seluruh rumah di Neiwan berarsitektur gaya Jepang. Saya terang bisa kenali dari daun pintu dan daun jendela geser dengan rangka berkotak bujur sangkar. Menurut kawan saya, Lin Chen-wei, model bangunan seperti itu merupakan paparan kebudayaan Negeri Matahari Terbit terhadap Taiwan akibat penjajahan Jepang pada masa Perang Dunia Kedua (1937-1945). 

Saya dan Laurent bersama dua kawan lainnya, Jili Wun dan Shen Yu-lin, masuk desa itu pada satu sore menjelang senja. Neiwan, sesuai namanya yang konon bermakna ‘lingkaran dalam aliran sungai’, adalah desa yang berada di lembah perbukitan kawasan Sanwan, dengan pertanian subsisten, mulai dari padi basah sampai sayur-sayuran (sawi, lobak, dan kol). 

Tak banyak orang bisa kami temui, selain seorang bocah delapan tahun, yang belakangan saya tahu bernama Kai, dan perempuan sepuh yang bercaping sedang sibuk menjemur lobak putih untuk jadi bahan asinan—sejenis kimchi. Kai kemudian dengan gesit mengantar kami berkeliling permukiman desa. 

Kai adalah salah satu bocah dari sepuluhan anak-anak setempat yang pernah mengikuti satu program yang dibuat oleh Sanwan Cultural Collective (SCC), kolektif yang dibentuk Laurent, Jili, dan Shen. SCC menggelar lokakarya untuk anak-anak itu pada Agustus 2018. Mereka menggambar-melukis dan terlibat kegiatan lain. “Begitu cara kami membuat mereka lekat satu sama lain karena mereka tidak satu sekolah,” terang Laurent. 

Persoalan jarangnya anak-anak di Neiwan (angka kelahiran di Taiwan merupakan terendah ketiga di dunia,[1]mengakibatkan fasilitas sekolah hanya tersedia di kecamatan dan kota. Kai dan kawan-kawannya bersekolah di tempat yang berbeda; Kai di Toufen, berjarak 11 kilometer dari Sanwan, lantaran ayahnya bekerja di sana, dan teman sebayanya bersekolah di Sekolah Dasar Sanwan.

Kami lalu berkeliling. Kai memandu kami. Ia menunjukkan sejumlah karyanya dan teman-teman sebayanya berupa lukisan dan gambar berwarna di matra bulat seukuran dengan rambu lalu lintas. Mereka memasangnya di banyak tempat. 

Pada bagian depan desa (dengan berpatokan dari jalan raya), beberapa kursi diletakkan di bawah rindang pohon. Agaknya jadi tempat para orang sepuh dan dewasa beristirahat usai bekerja di sawah dan ladang. Anak-anak itu menempelkan rambu peringatan yang bergambar semut dan sarangnya bahwa orang-orang yang mau duduk mesti waspada gigitan serangga itu. 

Beberapa meter dari situ, mereka memasang dua rambu di sepanjang saluran pengairan pertanian utama yang membelah desa. Titik pertama adalah titik terdalam saluran. Mereka menggambarkan orang yang jatuh ke air. Titik kedua adalah tempat para perempuan di desa mencuci pakaian. Namun papan rambu yang mereka pasang adalah bukan gambar dan tulisan peringatan, melainkan pujian bahwa tempat itu sangat bagus. Ya, mereka benar. Tempat pencucian itu beratap rangka kayu dengan bagian tembok bawahnya menyentuh air.

Kami menuju satu persimpangan tiga, tempat mereka memasang satu rambu. Peringatan di bawah cermin cembung belokan jalan itu bergambar truk beserta seruan agar “truk berhati-hati pada kami (anak-anak)”. Berbagai alat berat lalu lalang di Neiwan sekitar tiga tahun terakhir.[2]Truk-truk mengangkut pasir dan kerikil dari sungai yang mengalir di Neiwan untuk bahan baku pembangunan jalan jalur cepat roda empat. Namun selama SCC menggelar lokakarya bersama anak-anak, kata Laurent, para supir truk terpaksa mengalihkan jalur mereka lantaran melihat keasyikan bocah-bocah setempat beraktivitas. 

Kehadiran alat-alat berat itu bukan cuma membahayakan anak-anak. Kunang-kunang pun pergi. Karena itu, mereka memasang pelang protes di samping kuil desa, kawasan di desa yang menjadi parkiran alat berat. Para bocah memasang dua pelang: yang satu memperingatkan supir truk untuk tidak membahayakan kunang-kunang, sedang lainnya, memperingatkan kunang-kunang menjauh dari alat-alat berat tersebut. Namun pelang yang ini tampak lebih seperti kunang-kunang mengepung truk ini.

Sampai di tempat ini, usai bercakap dengan Jili dan Shen, Kai tertunduk dan menggerutu. Rupanya, “Dia (Kia) merasa bingung mau mengantar kamu ke mana lagi,” kata Laurent, tertawa, menerjemahkan keluhan Kai. Kami semua tertawa. Saya segera merasa disambut begitu hangat.

Kami lanjutkan perjalanan. Beberapa peringatan lagi kami dapati di beberapa titik, antara lain di sekitar instalasi pembangkit listrik memperingatkan bahaya kebakaran/api, pengingat agar waspada akan jatuhan bata dari dinding pagar satu rumah tua, juga permintaan berhati-hati bila mengunjungi dan menjaga rumah tua (lainnya) yang berumur sejuta tahun. 

Pada jendela salah satu rumah kosong dan beratap genteng yang bocor serta ditumbuhi tanaman rambat itu terpasang gambar berwarna khas gambar anak-anak. Gambar beberapa boneka dan aksara Mandarin yang bertuliskan kira-kira berbunyi, berdasarkan terjemahan Laurent, panggilan akrab Lin Chen-wei, bahwa rumah tersebut sebaiknya jadi toko mainan saja (daripada tak terpakai). 

Banyak hal menarik yang saya peroleh dari perjalanan berkeliling permukiman ini. Dari gambar-gambar itu saya bisa merasakan solidaritas dan komunikasi yang mereka jalin ke orang-orang dewasa dan sesama mereka. Anak-anak itu menanggapi perubahan yang terjadi di desa mereka, fenomena yang muncul tiga tahun terakhir ditandai kehadiran alat-alat berat. Mereka pun berdialog dengan alam sekitar, tempat tumbuh mereka, dengan memperingatkan kunang-kunang untuk menjauh dari alat berat. Dengan polos pula mereka menyatakan pendapat dan konsep mereka tentang artefak dan warisan kebudayaan. 


MODEL kerja seperti ini sedang menjadi konsentrasi SCC, kelompok yang digawangi tiga orang: Laurent, Shen, dan Jili. Mereka menggunakan seni sebagai metode pendekatan mereka untuk melihat dan mengupas fenomena yang mereka temui dan alami sendiri di wilayah Sanwan. 

Penduduk Neiwan kini didominasi orang tua dan anak-anak. Para anak muda pergi ke kota. Dalam sesorean saya berjalan berkeliling desa, saya hanya dapati satu orang anak muda. Itu pun bukan orang asli setempat, yang juga menjadi salah seorang yang ikut membantu SCC ketika menggelar lokakarya bersama anak-anak dan orang tua yang kemudian menghasilkan gambar-gambar yang kami datangi.

SCC sedang membangun markas di rumah kerabat Jili yang kosong. Rumah itu terletak di seberang jalan kediaman Jili, perempuan semampai yang bertanggung jawab sebagai Direktur SCC. Di Sanwan, memakai rumah kerabat yang melompong adalah hal yang biasa. Begitu pula dengan rumah berlantai tiga itu. Dari pada kosong, rumah itu sedang diubah fungsinya menjadi perpustakaan, bioskop komunitas, dan, tentu saja, sekaligus sebagai kantor SCC. Tugas mengubah tempat itu jatuh ke pundak Shen. 

Saya sempat ikut membantu membersihkan halaman belakang rumah itu. Lokasinya ternyata tepat di bibir tebing bukit, tempat saya bisa menyaksikan lembah yang menghamparkan tanaman pertanian dan perkebunan, gema kicau burung, dan kelok sebatang Sungai Chung Kang yang membelah Sanwan. Wajar kalau Sanwan sering didatangi pelancong yang menikmati pemandangan lembah Sanwan atau ziarah ke Kuil Dewa Padi dan Gandum yang dibangun pada 1851 silam.
Kuil Dewa Padi dan Gandum, Sanwan. (Foto: Anwar Jimpe Rachman)
Namun karena halaman itu masih gundul, Laurent meminta saran, tanaman apa yang cocok ditumbuhkan di halaman itu. Saya bilang, bambu dan sirsak—dua tanaman yang juga tumbuh subur di halaman belakang Kampung Buku. Saya katakan itu sebab halaman SCC berada di ketinggian. Bambu adalah tanaman penahan tanah dan penyimpan air yang baik, sedang sirsak demi panen buah dan kepraktisan: tinggal lempar biji (dan banyak dijajakan di pasar-pasar malam Taipei). Ditambah lagi, berdasarkan amatan saya, tanaman pertanian yang dikembangkan petani Sanwan tak berbeda dengan yang dibudidayakan petani sekitar Makassar (terutama di Malino, Gowa), mulai dari kol, seledri, tomat, dan sayuran lain yang bisa tumbuh subur di udara sejuk. “Nantilah saya kirim fotonya,” kata saya.

Dari obrolan kami semalaman, baik di meja rumah makan setempat sampai di sebuah rumah orang Hakka di perbukitan sebelah Sanwan, rupanya SCC sedang merancang serangkaian inisiatif untuk merespons fenomena di sekitar mereka. Salah satunya berkaitan dengan pekerja migran dari Indonesia. 

Dalam catatan resmi Pemerintah Indonesia, sekisar 250 ribu orang.[3]Mereka bekerja di industri sampai rumah tangga. Selama 10 hari di Taiwan, saya banyak melihat para pekerja ini menjaga orang tua dan difabel. Menurut Laurent, fenomena ini sebenarnya kebijakan pemerintah Taiwan yang ramah terhadap orang tua. Namun, sayangnya kebijakan itu bukan tanpa celah. Justru yang menjaga orang-orang sepuh ini sering luput dari perhatian. Waktu-waktu pribadi mereka tersita lantaran harus menjaga nyaris 24 jam sehari. 

Bisa jadi Laurent benar. Kami bersua dengan tiga perempuan pekerja migran Indonesia yang sedang menikmati waktu senggang di Toko Indo A-Jun, toko milik Ling Ling, perempuan Tionghoa dari Kalimantan Barat, berusia 37 tahun yang pindah bersama keluarganya sejak usia tujuh tahun ke Taiwan. Ling Ling menjual makanan Indonesia di Kota Toufen, Taiwan, kota terdekat dari Sanwan. Di toko ini, mereka sedang menunggu masakan Indonesia yang mereka pesan.
Ling Ling, pemilik Toko Indo A-Jun, Kota Toufen. (Foto: Anwar Jimpe Rachman).
Ketiga pekerja perempuan itu berasal dari Cilacap, Kendal, dan Yogyakarta. Ketiga perempuan itu makan dan pulang terburu-buru. Mereka mengambil jeda sejenak dari menjaga anggota sepuh keluarga yang mempekerjakan mereka. Hari itu adalah hari Minggu dan rehat mereka memang sebentar karena terburu-buru pulang untuk kembali menjaga. 

Hal yang sama juga temui pada pagi menjelang siang Minggu itu. Laurent mengajak saya ke Taipei Main Station. Benar saja, para pekerja migran ini berkumpul di stasiun utama ini dengan duduk bersila membentuk lingkaran. Cukup mudah mengenali mereka, salah satunya, melalui pakaian mereka. Nyaris bisa dipastikan kalau mereka perempuan, biasanya mengenakan jilbab. Mereka berkumpul, membentuk lingkaran, dan duduk bersila. Laurent mengatakan, kebiasaan itu juga kemudian ditiru oleh orang Taiwan sekisar tiga atau empat tahun belakangan. Tentu, sambung Laurent, awalnya orang Taiwan heran melihat kebiasaan itu karena terbiasa berdiri saja atau duduk bukan di lantai. “Tapi pelan-pelan orang Taiwan mungkin berpikir, mengapa tidak duduk saja sama-sama.”

Kumpulan yang saya temui hari itu adalah sekelompok pekerja di bawah tiga puluh tahun. Mereka sibuk mematut mata mereka ke berlembar kisi-kisi ujian Bahasa Inggris. Salah seorangnya bernama Heru mengaku kalau mereka adalah mahasiswa Universitas Terbuka. Menjadi mahasiswa UT adalah jalan yang ditempuh demi mengisi waktu seraya menunggu kontrak kerja berikutnya. 

Heru adalah tenaga kerja yang berangkat gratis tanpa membayar dalam seleksi BP2TKI. Keadaan ini berkebalikan dengan kebanyakan TKI yang harus membayar 50-60 juta rupiah. Dari obrolan saya dengan Nur dan Lina, dua perempuan yang saya temui di Toko Indo A-Jun, mereka belajar bahasa Mandarin sekaligus diberangkatkan oleh perusahaan yang mereka sebut sebagai “PT”. Mereka hanya akan menerima setengah dari gaji yang berkisar 17 ribu Dollar Taiwan selama enam bulan (untuk pekerja industri) sampai sembilan bulan (pekerja rumah tangga) pertama masa kerja mereka.
Pekerja migran Indonesia berkumpul di Taipei Main Station, Minggu 2 Desember 2018. (Foto: Anwar Jimpe Rachman)
Pada hari Minggu, ketika mereka bersua dengan sesama pekerja migran di Taipei Main Station, mereka membawa serta orang yang mereka jaga. Mereka menuntun kursi roda para orang sepuh dan difabel. Bahkan ada yang memakaikan jilbab pada orang sepuh yang mereka jaga agar tidak kedinginan. 


JILI sendiri punya pengalaman terkait pekerja migran Indonesia. Penjaga mendiang neneknya adalah orang Indonesia. Ia mengakui, ikatan antara pekerja dan nenek serta keluarga yang mempekerjakan bukan lagi sekadar hubungan tuan-pekerja, tetapi terjalin pula ikatan emosional. Jili menyaksikan sendiri bagaimana sang pekerja begitu sedih ketika neneknya meninggal. Kini si pekerja mencari nafkah di usaha pamannya berkat bantuan keluarga Jili. 

Penjelasan Jili itu membuyarkan perkiraan awal saya bahwa konsentrasi orang migran Indonesia hanya di Kota Taipei. Saya bertemu dengan dua orang Indonesia di Sanwan, seratusan kilometer di selatan Taipei, yang sejauh ini, mereka adalah yang terbaru dan terlama. Yang terbaru tinggal di Taiwan adalah Siti Inayati, perempuan 38 tahun dari Lampung; dan terlama Shen Hao Hui, lelaki sepuh berusia tujuh puluhan tahun, berasal dari Tanjung Karang, Lampung.
Shen Hao Hui sedang sibuk di kedai mi daging sapinya di Sanwan. (Foto: Anwar Jimpe Rachman)
Siti Inayati, yang minta dipanggil ‘Atik’ saja, baru empat bulan dan belum tahu bahasa setempat. Mbak Atik bekerja menjaga seorang tua di rumah kerabat Jili yang bersampingan Kantor SCC. Kami berbincang sebentar ketika kami membersihkan halaman belakang SCC. Sedang Pak Shen Hao Hui, seorang pensiunan guru SMP di Sanwan, tinggal di sana sejak 1965. Pada masa pemerintahan Soekarno, ia pelajar SMP yang menerima beasiswa dan belajar ke Taiwan. Perubahan politik kemudian menahan nasibnya tak bisa kembali ke Indonesia pada masa itu. Kini masa purna baktinya diisi dengan membantu istri dan keluarganya mengelola usaha mi daging sapi di Sanwan. 

Nuansa pekerjaan rumah itu menampak juga di beberapa buku yang saya dapati di perpustakaan Kota Sanwan, seperti Orang Indonesia Belajar Bahasa Taiwanyang menekankan pengenalan kosa katanya pada jenis penyakit, yang bisa kita duga sebagai bekal dasar untuk bekerja di lingkup rumah tangga.
Buku pelajaran Indonesia-Bahasa Mandarin di Perpustakaan Sanwan. (Foto: Anwar Jimpe Rachman)
Pengalaman Jili dan waktu pendek bagi pekerja migran itu kemudian mendorong SCC merancang kegiatan yang rencananya segera berlangsung di Sanwan dan sekitarnya secara rutin bernama “Hari Cinta Kakak”. Mereka berpikir, dengan berkumpul sebagaimana lazimnya kebiasaan mereka kala di Indonesia—seperti menyantap hidangan dan menyesap minuman sambil menggelar arisan di halaman belakang SCC; nonton layar tancap di alun-alun depan Kuil, atau membaca buku-buku yang tersedia di perpustakaan SCC kelak—bisa mengobati suntuk dan lelahnya para pekerja migran. Mereka butuh pula menjadi diri sendiri selama rentang waktu jeda itu.


SUATU pagi, setelah sepekan sepulang saya dari Taiwan, saya tunaikan janji mengirimi Laurent empat foto tanaman yang tumbuh di halaman belakang Kampung Buku: sirsak, nenas, jeruk nipis, dan bambu. Halaman belakang Kampung Buku juga menghadap ke Sungai Sinrejala. 

Rupanya SCC sudah menemukan bibit sirsak. “Shen dapat dari internet. Ada orang yang jual,” kata Laurent, tertawa, seraya menambahkan sebenarnya gampang dapatkan bibitnya di kampung Shen di bagian tengah Taiwan. 

Kami saling mengirim tawa. Rasa senang merebak bahwa rencana mereka akan pelan-pelan terwujud. Mungkin juga karena kami sama-sama yakin: banyak yang bisa tumbuh dari halaman rumah, termasuk kemanusiaan.[]


Komentar

Postingan Populer