Menggali Dua Keping Kata

Koin Belanda (Foto ilustrasi: Anwar Jimpe Rachman)
Ada satu rumah kayu yang berjarak seratusan meter di barat rumah masa kecil saya. Saya dan teman-teman main biasa cuma melintas dan memandangnya dari luar pagar. Penghuninya belum pernah kami lihat. Menurut tetangga-tetangga kami, agaknya semua yang tinggal di situ adalah orang-orang sepuh. Anak-anak mereka terbang mencari makan ke tempat lain. 

Rumah kayu tua itu roboh suatu ketika. Tiang dan seluruh rangkanya sudah dipindah entah ke mana. Yang tertinggal waktu itu cuma sehamparan tanah serta beberapa serpih atap daun rumbia yang lapuk, perca dinding bambu, pecahan berlumut satu tempayan, hamburan batu sebesar kepalan tangan sisa setapak khas di bawah rumah panggung Bugis, dan sampah-sampah dari yang pernah menghuni rumah. 

Saya bersama beberapa teman kanak-kanak saya menyerbu remah-remah rumah itu. Kami seperti tahu, ada saja yang tidak terbawa dalam satu keberangkatan. Kalau kawan saya pulang bawa sampah yang diubah jadi mainan. Tapi saya bawa dua artefak: buku lontara’ (dengan bekas rayap di pinggirannya) dan sekeping koin VOC bertitimangsa 1792. Saya bawa pulang keduanya. Sayangnya, karena kesadaran sejarah kanak-kanak yang masih rendah, nasib buku itu kini tak tahu di mana rimbanya dan mata uang logam tembaga milik Kompeni selebar jempol itu terakhir diambil abang saya.

Namun menemukan kedua benda itu, terutama koin karena melihat angka tahunnya, saya merasa menjadi anak istimewa dan ‘dipilih semesta’ lantaran memegang satu jejak dari masa yang teramat lampau. Saya tidak punya imajinasi tentang deretan angka tahun tersebut, selain lintasan panduan cerita dari guru berdasarkan pembahasan sejarah di bangku sekolah.

Dua puluhan tahun kemudian, perasaan yang menyelubungi saya kala menemukan koin itu terulang lagi. Itu waktu saya menerjemahkan Art as Politics: Re-crafting Identities, Tourism, and Power in Tana Toraja, Indonesia (Kathleen M. Adams, 2006). 

Dalam penerjemahan, ada semacam kegembiraan tak tepermanai bila kita berhasil menemukan kata Indonesia yang sepadan untuk istilah-istilah dalam naskah asing. Di lembar-lembar buku karya Kathleen ada dua kata yang sangat membekas. Pertama, tourates, istilah yang dipinjam profesor antropologi Loyola University Chicago ini dari Andrew Causey (2003); dan pastiche, satu kosa kata yang biasa dicicipi para pengonsumsi kajian posmodernisme. 

Istilah tourates sejak awal sudah muncul di halaman 10 buku Kathleen. Membolak-balik dan mengeklik halaman kamus daring hasilnya nihil. Saya menyerah. Saya lalu kembali ke penjelasan Kathleen yang menyertai istilah tersebut, yakni “orang lokal yang hidupnya bersentuhan atau berkelindan dengan pariwisata”. Namun persoalan belum rampung oleh pengertian itu. Terma itu bakal muncul berkali-kali dalam penjelasan di bagian-bagian berikutnya. Jelas akan menyendatkan.

Sambil meneruskan membaca penjelasan-penjelasan Kahtleen di bagian berikutnya, saya masih dihantui apa gerangan pengertian yang cocok untuk tourates itu. Sebentar-sebentar saya merasa ada kata yang melintas sebentar tapi segera hilang. Mungkin mirip dengan melihat kelebat sesuatu yang samar dengan ekor mata. Atau, lebih sastrawi, terasa bagai kalimat Amir Hamzah: bertukar tangkap dengan lepas. 

Saya pun jeda mengetik. Berpikir, mengerahkan konsentrasi, dan menggali ingatan tentang istilah dunia usaha. Nah, saya pun bertemu imbuhan /wira-/, seperti yang biasa kita baca dalam kata ‘wiraswasta’, istilah untuk usaha yang digerakkan oleh usaha dan upaya sendiri. Dengan kata tour dalam tourates yang dialihbahasakan menjadi ‘perjalanan’ atau ‘wisata’, dan tinggal menambahkan akhiran /-wan/, maka jadilah: wirawisatawan. 

Satu soal selesai. Tinggal: pastiche. Wah, istilah ini lagi. 

Sudah dua kali saya temukan pastiche dalam kerja penerjemahan. Pertama kali tahun 2011-2012, ketika saya mengerjakan alih bahasa Calling Back the Spirit: Musik, Dance, and Cultural Politics in Lowland South Sulawesi (2002) yang terbit menjadi Pakkurru Sumange’: Musik, Tari, dan Politik Kebudayaan Sulawesi Selatan (2013). Namun entah karena lemah pikir atau diburu waktu, ketika itu saya hanya pakai bergantian kata campuran dan pastiche itu sendiri.

Ferdinand de Saussure (1857-1913) bilang bahwa dalam bahasa, bunyi tak dapat dipisahkan dari pikiran ataupun pikiran dari bunyi. Sebab itulah saya mencari kata berbunyi mirip dengan rancang karena nuansa ‘susunan’ dan ‘seni’ dalam makna pastiche yakni karya seni visual, sastra, teater, atau musik yang mengimitasi gaya atau karakter karya seorang seniman atau lebih (a work of visual art, literature, theatre, or music that imitates the style or character of the work of one or more other artists). 

Saya buka aplikasi KBBI di telepon pintar. Segera muncul susunan daftar kata yang berhuruf awal sama. Saya melihat rancam ada di atas rancang. Saya cek maknanya, muncullah: rancam, ark., campuran bermacam-macam (bahan dsb). 

Eureka! Segera saya salin rancam, lalu tempel, dan ganti kata pastiche

Rancam (KBBI)
Pastiche (Indonesian Dictionary & Oxford)
campuran bermacam-macam (bahan dsb)
1. creation from a number of different sources; work created mainly using techniques or styles borrowed from other artists
2. a work of visual art, literature, theatre, or music that imitates the style or character of the work of one or more other artists

Mengapa saya ingin berpayah-payah mencari kata-kata seperti ini? Alasannya sederhana. Pertama, kata-kata yang berasal dari bahasa harian bisa melicinkan pemahaman saya tentang satu konsep penting dari seorang cendikiawan. Kedua, membuat istilah bahasa Indonesia kosa kata seperti itu akan memudahkan kerja penerjemah, terutama ketika membuat kalimat, apalagi sudah sampai harus memberi imbuhan pada kata-kata semacam itu. Ketiga, berdaulat dalam bahasa. Beberapa kali rasanya mendengar keluhan soal keterbatasan bahasa Indonesia dalam istilah-istilah akademik. Dengan mengganti dua kata saja, tiba-tiba terasa bahwa cakrawala bahasa Indonesia masih terbentang luas dan cukup biru gelap untuk diselami lebih dalam.

Begitu saya mencantumkan mengganti dua kata asing itu, rasa yang menyelubungi saya serasa baru saja menemukan hal istimewa, seperti menemukan koin tua. Namun yang terpenting, sebagai pembelajar yang biasa lekas bosan berada di ruangan, hanya satu cara yang bisa saya tempuh: belajar dan menemukannya sendiri.[]

Komentar

Postingan Populer