Kota Diperam dalam Lontang


LONTANG adalah sebutan lokal untuk kedai minum tradisional yang banyak terdapat di wilayah hunian suku Makassar, terutama kawasan bagian selatan Pulau Sulawesi. Bentuknya serupa warung kebanyakan, dengan bangku berhadapan yang ditengahi meja kayu panjang, dan menyediakan satu menu saja: ballo’ (tuak).

Seraya bercakap menyesap tuak, para pengunjungnya meretas sengkarut pikiran perihal hidup sehari-hari, menghibur diri selesai bekerja, atau sesekali bergurau dan olok-olokan tanpa memandang strata. Bangunan kayu bertiang bambu ini sering juga menjelma sebagai “sanggar“, tempat latihan biduan lokal bernyanyi demi bekal di depan publik kelak, kata Sese Lawing, seorang kawan yang menciptakan banyak lagu bersyair bahasa Makassar, sekisaran 2013 lalu.

Orang-orang itu adalah mereka yang menghuni lapis masyarakat yang biasa disebut “warga kelas bawah”. Mereka bekerja sebagai buruh bangunan, tukang parkir, sampai supir. Kehidupan mereka dari terang sampai gelap hari di naungan atap daun nipah lontang itu bisa menjadi jendela kita untuk melihat bagaimana siasat “warga kelas bawah” hidup di Kota Makassar.

Bahan baku menu utama lontang itu adalah air yang disadap dari tangkai buah nipah. Tumbuhan bernama ilmiah Nypa fruticans ini banyak berbiak di pinggir sungai, rawa-rawa, dan pesisir utara Makassar dan sekitarnya, terutama di sekitaran Pampang dan Pulau Lakkang. Kedua wilayah yang disatukan oleh Sungai Pampang ini merupakan tempat para pange’ba (penyadap air nipah) dari Rappokalling, Tallo, Pampang, dan Lakkang mengambil bahan utama untuk ballo’.

Nipah, yang tumbuh berdampingan dengan bakau, di kawasan Pampang dan sekitarnya tampak menjadi harapan terakhir bagi kota yang tumbuh di atas rawa-rawa seperti Makassar. Pokok-pokok nipah dan bakau itulah yang menjadi sabuk hijau pengaman bagi laju pembangunan kota, kendati terutama nasib nipah diambang senja. Wilayah itu juga pernah mengalami masa-masa bakau berkurang karena menjadi bahan utama pembuatan arang pada 1960-an dan 1970-an.[1]

Wilayah Pampang ini pula yang menjadi latar kisah seorang pange’ba yang membuka lembaran-lembaran pertama narasi-narasi manusia yang dirangkum buku ini. Kisah yang ditulis Wilda Yanti Salam itu merinci bagaimana kehidupan sang penyadap, keluarganya, dan komunitas yang mendukung keberadaannya, serta Pampang yang dulunya hutan nipah melambat ditimbun dan melaun disulap menjadi perumahan.

Suatu hari menjelang musim hujan tahun 2012, saya berkeliling Pulau Lakkang, pulau bersabuk pohon-pohon nipah yang tumbuh di pinggiran Sungai Tallo dan Sungai Pampang yang melingkari pulau ini. Di bantaran kedua sungai inilah saya saksikan langsung bagaimana segala rupa sampah—benda-benda plastik,[2] lembaran kain, sampai tali—tersangkut dalam kerapatan batang coklat nipah yang mencuatkan daunnya hijau di tengah air yang hitam pekat hasil pencampuran bermacam limbah dari Makassar. Bau air sengit yang harus saya lintasi dengan sangat pelan itu bagai air kimiawi hasil uji laboratorium yang gagal. Aromanya mencengkeram seperti sedang berada di dalam ruang sempit; memblokade oksigen meski saya sejatinya sedang di alam terbuka. Namun pemandangan yang awalnya amat mencekam itu tiba-tiba menjelma sebentuk suasana yang puitis. Semua itu terjadi berkat botol-botol plastik besar bekas air mineral yang menyumpal tangkai-tangkai buah nipah, laksana mereka sedang menetek dan menyadap air yang memang serupa susu itu.

Ada rantai kehidupan yang saya sadari ketika itu. Kota dan kita mengalirkan sampah dan buangan ke sana, ke sungai itu. Pohon-pohon nipah lalu menyaring dan memeram segala macam buangan yang teramat busuk itu, sebelum menyerahkannya ke muara dan ke laut. Pohon-pohon itu juga memeluk tanah yang kita pijak sekarang agar tidak runtuh dan terbawa arus. Nipah juga membersihkan air buangan kita dan menjadikannya sari pati yang menjelma jadi ballo’ untuk pange’ba. Nipah dan pange’ba saling memberi dan menerima. Mungkin hanya tuaklah yang menjadi alasan mengapa nipah masih merimbun di wilayah itu. Karena itu pula, orang-orang di Makassar perlu berterima kasih pada para pange’ba, lontang, dan ballo’ yang disesap dan ditenggak oleh mereka yang dipinggirkan dan mungkin kelak digusur itu karena laju pembangunan. Sejak itu, saya pulang dengan satu definisi: Makassar adalah kota yang diperam di dalam lontang.


NAMUN kehidupan lontang yang ditulis Wilda Yanti Salam itu hanya setetes contoh saja dari lautan hidup manusia di kota ini. Tetesan lain yang mengalir ke dalam buku Kota Diperam dalam Lontang ini adalah kisah seorang anak berkebutuhan khusus yang ditulis Fakhiha Anugrah Prastica, pola bermain dan tumbuh kembangnya anak-anak di kota oleh Rahmawati, cerita tentang urbanisasi kelompok masyarakat tertentu (Massenrempulu) ke Makassar oleh Hajra Yansa, narasi keluarga pemulung oleh Rusli, dan Achmad Teguh Saputro yang menulis tentang beberapa keluarga yang bertani di wilayah perkotaan.

Keenam penulis ini adalah kelompok orang muda yang (kebetulan!) dari kampus dan perguruan tinggi yang berbeda di Makassar. Mereka adalah hasil seleksi program “Anak Muda dan Kota” yang diadakan Tanahindie, Januari-Juli 2018. Mereka mengikuti lokakarya berminggu-minggu (belum termasuk pertemuan yang tidak terjadwal lantaran datang sendiri-sendiri untuk konsultasi temuan).

Selain mereka, dalam waktu yang hampir bersamaan, Tanahindie juga membuat program residensi bagi kalangan muda yang tertarik pada dunia seni. Tanahindie membuka ini untuk melebarkan dimensi dan kemungkinan lain terkait pandangan anak muda terhadap kota yang ditinggalinya, terutama dari segi audio dan visual. Mereka yang terlibat adalah Andi Thezar Resandy (audio), Aziziah Diah Aprilya (fotografi), Ibe S. Palogai (fotografi), dan Wildan Maulana (videografi).

Kisah-kisah mereka dalam rangkaian aksara maupun dalam potongan gambar dan suara di buku ini sejatinya apa yang mereka temui di lapangan, ditambah polesan dan masukan selama lokakarya berminggu-minggu dalam kelas yang partisipatif. Mereka terlibat aktif memberi masukan pada tiap tulisan kala bergiliran mempresentasikan apa yang mereka teliti dan perkembangan tulisan masing-masing.

Mereka mengakui, metode ini baru mereka alami dan sangat berbeda dibanding cara yang mereka dapati sebelumnya. Mereka mengakui dan sadar bahwa data-lah segalanya. Lebih jauh lagi, ada beberapa di antara mereka baru dengan mantap menentukan tema penelitian setelah pertemuan keempat atau kelima.  

Mengapa sedemikian lama? Selama kelas lokakarya, saya melihat bagaimana mereka tampak mencoba dengan sangat keras mengubah perspektif mereka. Pada beberapa pertemuan awal, mereka berpretensi berdiri sebagai “peneliti” yang sangat berjarak dan mengamati sesuatu yang “jauh” dari diri mereka—yang sayangnya pisau analisis pun tak mereka punyai. Padahal, hal terpenting yang diharapkan dari pandangan mereka justru tulisan yang lebih deskriptif, rinci, tanpa jarak, dan ‘jujur’ sebagai pihak yang menyaksikan langsung satu fenomena atau sebentuk kejadian. Mereka bergerak menulis karena ‘mengalami’—baik karena persentuhan lewat latar belakang suku-agama, ketertarikan, atau sebab yang sepele seperti wilayah itu adalah tempat tinggal (sementara) mereka.

Dengan cara ini, Tanahindie hendak menegaskan bahwa amatan dan pengalaman intim seorang individu adalah perihal penting yang sayang bila diabaikan, sebagaimana yang terjadi pada halaman rumah sebagai ruang (space) dan ranah (sphere) yang terlantar. Mendayagunakan “halaman rumah” sebagai lokus sekaligus cara berpikir menjadi haluan Tanahindie. Menyebutnya lokus berarti sebagai tempat melaksanakan pertemuan lokakarya; sedang cara berpikir yakni memaknainya sebagai cara pandang yang vernakular.

Hadirnya kumpulan kisah ini, saya yakin, berkali lipat gunanya, antara lain: pertama, mengisi narasi kota dari sudut pandang orang-orang muda. Cepat atau lambat, data-data yang mereka kumpulkan ini akan menjadi referensi penting sekaligus tawaran lain pada khalayak yang ingin mendalami kajian perkotaan; kedua, hadirnya kisah-kisah ini sekaligus mengimbangi narasi-narasi besar yang dibuat oleh “penguasa” dan “pengusaha” dengan menyandingkan narasi yang lain (counter-culture).

Cepat atau lambat, kerja kecil seperti ini selalu berpotensi memiliki dampak yang besar. Anak muda jarang mendapat ruang. Di dalam keluarga, mereka harus keluar dari rumah untuk menyatakan pikiran. Di tataran lain, mereka hanya menjadi objek yang dipandang sebagai angka-angka untuk satu dimensi hidup yang rasanya terlalu sempit, yakni politik elektoral.[3] Di dalam buku ini, mereka menegaskan pandangan, menyatakan tanpa sungkan di mana berpijak, tentang kota yang mereka tinggali—sejenak atau menetap.

Terakhir, kisah yang berwujud-sementara sebagai buku ini hanya mungkin tersusun berkat dukungan banyak pihak, antara lain Stichting Doen, Arts Collaboratory, Penerbit Ininnawa, dan Makassar Nol Kilometer DotCom (https://mks0km.id), The Ribbing Studio, Yayasan Makassar Biennale, Kedai Geraderi, dan bantuan dari kawan dan sahabat lainnya.[]



[1] Anwar Jimpe Rachman, Lakkang: Pulau ‘Menara’ Pengintai, 2012, tidak dipublikasi.
[2] Jenna Jambeck memberi perkiraan kasar bahwa sampah plastik di wilayah pesisir mencapai 4,8 juta hingga 12,7 juta ton per tahun. Baca lebih lanjut Laura Parker, “Plastik”, National Geography Indonesia, Juli 2018, hal. 60.
[3] Lih. Tanahindie & British Council, Ekonomi Kreatif Makassar 2015, tidak dipublikasi.

Komentar

Postingan Populer