Terpicu Kado dari Ibunya

Sebagai anak berpendidikan rumahan sejak usia tujuh tahunan, Isobel perlu tantangan untuk melakukan yang belum dikerjakannya selama ini. Salah satu di antaranya adalah menulis di dunia maya. Ia pun resmi sejak tanggal 6 November mulai menulis di blognya: indosidenreng.blogspot.com.  

Sekarang pun dunia maya adalah kenyataan harian yang absolut, apalagi kelak bila Isobel tumbuh besar dan dewasa; tak terbayang bagaimana lagi gerangannya di masa depan. Kami pikir, dia harus mulai terbiasa dengan hal beginian, tapi dengan catatan bahwa kami anggap dia mulai siap untuk itu. Dan sekarang, waktunya pun tiba!



Sebenarnya dia sudah menulis catatan harian sejak dapat hadiah buku catatan dari ibunya beberapa bulan lalu sebagai hadiah ulang tahun. Sejak itu pula, aktivitas pra-blog itu mulai dia lakukan. Sebelum-sebelumnya sih pernah, meski tidak intens dan cenderung pendek. 

 

“Saya belikan untuk membuat dia sibuk saja. Kadang saya merasa dia ‘mengganggu’ orang bekerja,” kata ibunya suatu malam. 

 

Orang-orang bekerja yang dimaksud ibunya adalah kawan-kawan yang sedang menggawangi agenda di Tanahindie, Makassar Biennale, maupun serangkaian kerja Kampung Buku. 

 

Kami sadar, Isobel adalah anak yang dianugerahi keistimewaan. Kami, orang tuanya, bekerja di rumah sejak dasawarsa pertama tahun 2000. Karena itu dia lahir, tumbuh, dan belajar di lingkungan spesial, tempat dunia kerja juga menjadi dunia keseharian rumah—tren yang kian menguat karena Covid-19. Berbeda dengan sifat dunia kerja beberapa tahun sebelum kami, kantor menjadi sesuatu yang terpisah dari rumah, baik jarak maupun keadaan sekitar maupun situasi. Kerja dan keseharian benar-benar bercampur dan beraduk.

 

Dia juga bersekolah di rumah (atau berumah di sekolah—apa bedanya?). Ya, dia memang juga senang program homeschool. Kami pernah menyekolahkannya saat usia Taman Kanak-Kanak. Dia juga senang menjalaninya, sebagaimana anak kebanyakan. Bedanya dengan teman-temannya kala itu, kami meniadakan beban (yang memang tidak perlu) seperti dia harus bisa membaca. Pokoknya waktu itu kami hanya ingin dia belajar berkawan dan bertemu orang ‘berspesies lain’ dari orang tuanya dan suasana berbeda dari apa yang selama ini dia hadapi dalam kesehariannya. (Cerita lain tentang Isobel ada di sini: Si Gadis Kota Menginap di Rumah TetanggaMendayung di Antara Dua Generasi, dan Satu Tahun Kebingungan).

 

Di dalam buku itu, Isobel belajar mencatat dan mengingat semua cerita pengalaman perjalanan-perjalanannya, terutama keluar Makassar (dia selalu senang kalau diajak jalan-jalan), hal yang mungkin sekali terjadi karena dunia kerja saya bertaut dengan penulisan dan penelitian. Sekalian pula saya dan Piyo mendampinginya untuk benar-benar belajar menulis, misal bagaimana penggunaan tanda baca, menyusun kata, dan membuat kalimat. Ini adalah pelajaran dasar penting untuk membantunya menyatakan sesuatu dalam bahasa yang mampu dicapai otaknya. Cara itu sekaligus siasat untuk memperbaiki bentuk tulisannya yang masih bercampur huruf besar dan kecilnya secara serampang.

 

Meski Isobel lahir dan tumbuh saat teknologi berkembang pesat, kami berusaha tetap menjarakkannya dari teknologi—tentu pada beberapa hal saja. Sampai sekarang, perangkat canggih yang dia punya adalah telepon seluler Samsung lipat, yang dipakainya mendengar siaran radio. Menonton televisi pun dia dijadwal ketat. Kami sudah melihat banyak contoh anak tetangga maupun anak sekitaran kami, menjadi ‘budak’ teknologi, misal tak berdaya (bahkan meraung dan meronta) tanpa benda berlayar sentuh, tapi tunduk tak bicara bila disapa, atau malas bermain (gerak motorik) sebab terlalu lama depan tivi. 

 

Mengapa kami seketat itu pada Isobel? Jawabannya bisa gampang bahwa, misalnya, ‘kami tidak mampu belikan’. Tapi sejatinya, tujuan kami banyak. Kami ingin anak kami (atau orang-orang terdekat) selalu terhubung emosional dengan kami—bukan transaksional. Keterampilan hidup sosial harus ia pelajari sejak awal. Fondasinya mesti ditanam sejak usia muda. Kelak, dia percaya diri di tengah kehidupan masyarakat yang lebih luas. Jangan menjadi seperti kami, orang tuanya yang cenderung introvert (sulit membedakan bawaan lahir dengan hasil didikan). 

 

Kami percaya pula, hal-hal manual, yang dikerjakan dengan tangan merupakan satu keterampilan yang tak tergantikan kapanpun. Bahkan, kami yakini, kerja-lambat semacam itu menjadi dasar dan fondasi logika dari kerja yang serba otomatis sekarang. Lantaran itulah mengapa kami pikir dia perlu belajar salah satu hal paling hakiki dalam hidup, yakni ‘proses’. Tentu sebagai orang tua, saya tak ingin anak saya menyerah pada hal-hal sepele yang bisa membuatnya frustrasi hanya lantaran tidak sabar dalam tahap demi tahap ketika mengerjakan satu perihal. Berdasarkan pengalaman saya, laku menulis juga adalah kerja motorik yang sangat membantu saya mengingat. Intinya, mencatat merupakan kerja mengingat.

 

Buku catatan itu membantu kami untuk ‘mengendalikan’ Isobel. Gadis kelahiran 6 Juni 2009 ini sangat artikulatif dalam banyak hal. Namun, tentu tidak sepanjang hari-hari kami harus meladeni dia untuk gelar obrolan. Dia sangat suka bercakap, sekaligus membaca dan menggambar. Sayangnya, satu hal yang belum begitu dia senangi adalah menulis.

 

Lantaran merasa harus membagi peran, saya lalu diam-diam bergerak membuatkannya blog. Saya mencari waktu khusus. Saya putuskan tepat tengah malam menjelang 5 November. Untung alamat indosidenreng.blogspot.com memang tersedia! 

 

“Indo Sidenreng” atau disingkat “Indos” adalah nama yang saya pakai sebagai panggilan gurauan bagi Isobel. Namun ada pesan serius untuknya lewat nama itu. Kami ingin Isobel terus mengingatkan bahwa dia adalah keturunan orang-orang yang tumbuh di Sidenreng-Rappang, kabupaten asal saya. Nama itu saya pinjam dari nama tokoh alias penyiar acara berbahasa Bugis di Radio Gamasi FM (suara penyiar ini mengingat saya pada perempuan-perempuan sepuh Bugis periang di dapur, terutama kala mereka mempersiapkan pesta perkawinan dan akikah). 

 

Memilih membuatkan blog untuknya pada hari ulang tahun saya sebenarnya juga cara saya menghadiahi kado buat diri sendiri. Saya menandainya untuk satu tahapan lain dalam kelahiran usia baru saya. Ya minimal kali ini saya mengaitkan kelahiran saya sebagai “ayah yang ingin lahir selalu” atau “senantiasa berusaha tumbuh dan berkembang”.

 

Semoga juga Isobel kelak bisa gampang mengingat bahwa blognya itu dibuat tepat pada ulang tahun ayahnya karena terpicu oleh buku catatan harian hadiah ulang dari ibunya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer