Perjalanan Menuju Manusia

Akhir Mei 2023, saya berangkat ke Labuan Bajo tapi mesti ke Denpasar dulu. Susah cari tiket pesawat langsung. Habis utak-atik aplikasi travel ternyata memang (sudah) tidak ada! Yang tersedia cuma tiket transit dengan nama maskapai penerbangan berbeda dan durasi menunggu sembilan jam. 

Ini rekor baru. Catatan rekor transit saya 4-5 jam beberapa tahun waktu mau ke Solo akhirnya pecah. Saya bertemu teman di bandara yang kebetulan pulang dari Solo ceritakan kalau situasinya belum berubah. 

“Dulu ada pesawat langsung Makassar – Labuan langsung. Tapi kayaknya sejak pandemi tidak ada,” kata Marto. Ya, saya ingat memang ada setahunan sebelumnya. 

Penutup saluran air di Jalan Soekarno Hatta, Labuan Bajo. (Foto: Anwar Jimpe Rachman)

Sejujurnya saya tidak menyangka kepergian ke Labuan masih selama begini. Rasanya mungkin bakal lebih praktis naik kapal, tidak sampai sehari semalam, kendati jadwalnya rata-rata 10 hari sekali. Ketika Labuan didengungkan oleh pemerintah pusat menjadi destinasi super, saya pikir semua akan ringkas dan praktis. Nyatanya saya yang harus berangkat subuh dari Makassar mesti menjalani waktu menunggu pesawat berikutnya 9 jam plus diberi nasib baru bernama tunda terbang selama 45 menit.  

Begitu duduk di kursi penumpang 1C, saya leluasa melihat penumpang yang antre masuk pesawat disambut pramugara. Manusia-manusia yang akan berangkat ke Labuan ini lebih separuhnya adalah bule. Labuan tampak memang sedang jadi tujuan liburan, fenomena yang baru berkembang satu dasawarsa terakhir. 

Senja di ufuk barat merona jingga kala pesawat mendarat. Kedipan lampu kapal dan perahu mulai jelas dengan latar pulau yang menjulang lancip. Marto dan Syahril, dua di antara beberapa pengasuh Videoge, sudah menunggu di pagar penjemputan tatkala saya masih mencari bagasi dua kardus kecil di antara tas-tas besar yang beriringan di depan mata.

Lewat kaca mobil, saya seperti mengalami de javu. Keadaan ibu kota Manggarai Barat ini sama dengan suasana sore yang pernah saya lihat di Kuta, Bali. Turis mancanegara beriringan lalu lalang di trotoar kiri kanan. “Dulu orang-orang Labuan yang ke Ruteng atau Bima. Sekarang kebalikannya,” kata Aden.

Di Jalan Soekarno Hatta, ruas jalan dekat Marina Labuan Bajo, berjejer jasa rental motor, swalayan dan toko kelontong, hotel dan wisma, tentu jasa perjalanan wisata laut yang jadi andalan pelesiran daerah ini. Di jalan ini, harga sewa untuk satu bilik berukuran 3x4 meter mencapai 40-50 juta. Bayangkan harga sewa untuk ruang yang lebih besar. Beberapa pula bangunan baru juga tampak tidak berlanjut pengembangannya. Mangkrak. Kalau ada yang begitu, konon, biasanya karena ‘pecah kongsi’ antara dua atau tiga pihak. Beberapa lagi lainnya tidak berubah tampakan luarnya meski sudah menjadi resto atau penginapan. Hanya bagian interior yang bersalin rupa karena sistemnya sewa. Mengubah fasad dan dinding luar berarti biaya tambahan. Bisa jadi juga pertimbangan lain: penawar cuaca laut Labuan atau untuk kesan eksotisme.

Di Jalan Soekarno Hatta pula Bawakolong Space, tempat kerja dan nongkrong teman-teman Videoge, berada. Benar-benar di bawah kolong rumah panggung. Saya harus turun ke sebuah lubang persegi, mirip lubang gua, menapakkan kaki di empat lima undakan semen, dan tiba di pintu yang terbuka. Di situ menghampar karpet di lantai papan ruang tengah, papan putih kosong dan kertas plano yang berisi rencana-rencana kegiatan, dan dua tiga meja kecil yang cocok untuk bersila mengetik.

Saya datang pada pertengahan 2023, pasca pandemi. Kedatangan saya demi urusan Makassar Biennale. Videoge terlibat kerja urunan program dengan lima kota lainnya sejak tahun 2020. Suasana Labuan yang saya lihat, kata Saddam, pengasuh Videoge lainnya, masih suasana efek pagebluk. Bisa jadi keramaian tersebut masih berskala separuh dari sebelumnya. 

“Waktu puncak pandemi, hanya kami, penduduk Labuan, yang lalu lalang. Itu suasana benar-benar seperti Labuan zaman dulu. Tempat main kami masa kecil kami kuasai lagi. Tidak ada yang larang.” 

Jalan Soekarno Hatta dan Puncak Waringin, Labuan Bajo. (Foto; Anwar Jimpe Rachman)

Tempat yang dimaksud adalah sekitaran Marina Labuan Bajo, tempat banyak acara pemerintah digelar. Di kawasan itu juga Pelabuhan Labuan Bajo berada, pintu lalu lintas manusia dan barang sebelum ada bandar udara. Bunyi stom kapal senantiasa terdengar dari situ. Di situ pula perahu-kapal nelayan dan wisata terparkir. Kesibukan puncaknya kala pagi, ketika para awak lalu-lalang menaikkan galon, sayur, jeriken bahan bakar, dan kebutuhan perjalanan wisata lainnya.

Kesibukan pagi di kawasan Marina Labuan Bajo. (Foto: Anwar Jimpe Rachman)

Besoknya, saya pasang alarm jam lima pagi. Marto dan Saddam ajak saya ke Bukit Silvia untuk menjemput matahari terbit. Kami berangkat ke utara Labuan melalui pesisir barat, tak jauh dari Bandara Komodo. Di sepanjang jalan mulus berkelok naik turun dengan bahu yang lapang dan kokoh itu bangunan-bangunan baru sedang dibangun di lahan berbukit batu. Nama-nama rencana hotel itu tak ada yang asing. Jenama-jenama lama, besar, dan internasional. 

Kami tiba dan segera menapaki Bukit Silvia, tanah setinggi 100 meter di atas permukaan laut. Di utara dan selatan tampak perbukitan sabana dengan batang-batang lontar berlatar laut, sedang di timur dan baratnya laut melebar. Sudah banyak orang dengan niat yang sama tiba duluan di bukit ini. Dengar logatnya, nyaris semua orang-orang dari Pulau Jawa. 

Orang-orang itu berfoto bareng. Kami cuma termangu karena masih atur nafas sekaligus nikmati lanskap yang remang. Saya bawa kopi kemasan sisa semalam. Kami bakar rokok menikmati matahari naik pelan. Warna lanskap berubah ke cerah. Berbulan-bulan saya baru lihat lagi matahari terbit. Betapa jauh perjalanan saya harus tempuh untuk saksikan pemandangan begini. Marto juga mengaku begitu. Dari cerita yang saya dengar, kadang-kadang Marto dan Aden mengeluarkan juru manusia guanya. Keduanya bisa bertahan tiga hari di Bawakolong tanpa keluar.

Aden tidak ada waktu saya ke Labuan Bajo. Dia bersama Memo wakili Videoge ikut program residensi Jogja Biennale di Madura. Untung juga dia tidak ada. Bisa jadi waktu tidur saya akan terkuras. Kalau kami ketemu, obrolan bisa ke mana-mana dan memanjang sampai diri hari. Bagaimanapun Aden pernah ikut mengasuh Kampung Buku sampai mendiang ayahnya memanggil pulang tahun 2019 lalu.

Hari berikutnya kami menuju selatan. Kali ini pergi rombongan; menuju jalan Labuan Bajo – Golo Mori di Kilometer 16. Model jalan ke selatan juga sama seperti waktu saya ke utara, mulus dengan bahu jalan yang lebar dan kokoh. Ada beberapa rumah yang berfasad seragam biru langit; konon sebagai tanda bahwa rumah itu siap menerima turis. Kami berdiri di bukit pesisir selat yang memisahkan Flores dengan Pulau Rinca. Kami menyaksikan nusa-nusa kecil di sekitar Rinca dan ufuk yang dipenuhi laut membentang serta pulau-pulau lancip yang menyembul. 

Saya boncengan dengan Beato, yang datang dari Ruteng, kota di gunung bagian tengah. Jaraknya 80 kilometer tapi mesti ditempuh 4 jam karena penuh kelok, melintasi gunung dan bukit yang membentuk Pulau Flores. Beato adalah mantan penduduk Labuan. Ia pernah ke Makassar ikut lokakarya di Tanahindie, pengalaman pertamanya keluar pulau. Sampai tamat SMA dia pindah ke Ruteng untuk sekolah seminari dan kini bekerja di Klab Baca Petra. Beato hanya menggeleng waktu saya tanya soal Labuan. “Cepat sekali berubah. Saya seperti tidak kenal lagi,” katanya.

Dampak perubahan Labuan memang terasa pada banyak orang. Yang jamak dikeluhkan adalah harga-harga kebutuhan pokok yang mengikut pada harga yang kadung berlaku umum karena aktivitas turisme. Ibu rumah tangga yang membeli sayur sementara ini harus berdamai dengan harga yang berlaku di pasaran, meski mereka tidak terlibat dalam aktivitas pariwisata. Mereka tidak terlibat langsung. Hanya karena mereka penduduk Labuan Bajo, terpaksa menerima keadaan demikian. 

Citra Kader, aktif di Videoge dan sehari-hari bekerja sebagai juru masak, harus memesan di Kupang untuk mendapat bahan-bahan kue yang sesuai standarnya. “Kalau di Labuan, mahal dan tidak cocok dengan kebutuhan bahan kue saya.” 

Citra ikut menggiatkan Videoge dengan masakan-masakannya yang amboi. Tahun 2022 Citra menulis Resep Tetangga: Kumpulan Resep Masakan Wargag Pesisir Labuan Bajo (Tanahindie – Videoge). Suatu siang, dia menyajikan lawar jantung pisang, ikan bakar bersalut ulekan tomat-bawang merah-jeruk purut, ikan kering pipih selebaran jempol kaki dengan bumbu, juga parutan mangga yang digenangi santan. Saya harus longgarkan ikat pinggang.

Keadaan ini menjadi tempat tumbuhnya Videoge, komunitas yang digawangi beberapa gelintir anak muda di Labuan Bajo. Sebagian mereka bekerja juga di dunia pariwisata sebagai penopang hidup, separuhnya sama sekali tidak. Komunitas ini tampaknya bisa menjadi ilustrasi bagi saya bagaimana siasat hidup anak muda sana di tengah gempuran pariwisata di Labuan. 

Ada yang bekerja langsung seperti Saddam Husen, dengan menyediakan jasa layanan perjalanan wisata laut di kepulauan di sekitar Labuan. Adik Saddam, Syahril, juga aktif di situ, meski sempat mengaku “masih bingung menentukan mau belajar apa di Videoge”. Tapi obrolan kami hari-hari terakhir sebelum saya kembali ke Makassar, dia inginnya menulis. Musfika, istri Syahril, juga menjadi tulang punggung Videoge, mengurus manajemen keuangan. Terus terang, saya senang melihat ketiganya aktif di situ. Jarang melihat pemandangan ipar dan saudara bergabung di satu tempat. Biasanya kalau saudara, salah seorangnya biasanya enggan terlibat di tempat yang sama. Fika dan Saddam sesekali tampak boncengan ke Bawakolong kalau Syahril sedang sibuk kerja sesuatu di kantornya. 

Redra Ramadhan gitaris di kelompok musik yang saban hari di kafe dan hotel bersama bandnya menghibur tamu. Anggota muda seperti Putri, adik Aden, masih proses penelitian untuk skripsi di Antropologi Unhas—jurusan yang saya rekomendasikan ke dia waktu masih mau daftar calon mahasiswa. Anggota baru (dan rasanya masih magang) seperti Afra yang bekerja sebagai admin di agen perjalanan. Begitu juga Haerul yang membantu Redra dkk siapkan alat untuk tampil.

Pariwisata memang industri yang rumit dan tak terduga dan merupakan bagian dari globalisasi, kata Kathleen M Adams (2022), dengan percabangan yang beranak pinak dan dengan dampak yang sangat beraneka ragam terhadap setiap anggota di satu komunitas yang sama. Apa yang dilakukan Videoge merupakan bentuk dari adaptasi mereka terhadap proses sirkulasi mendunia itu. Kini anak-anak muda Videoge, generasi ketiga dan keempat yang menghuni kota ini, mau tidak mau, mestilah selalu bersiaga terhadap apa yang akan datang dan yang hilang, sesuatu yang sempat mereka tuliskan dalam Riwayat Gunung dan Silsilah Laut (Makassar Biennale – Tanahindie, 2023).

Awak Videoge malam pertama kedatangan saya.

Setiap duduk di beranda penginapan di atas lantai Videoge yang menghadap ke barat, saya masih ingat foto yang Aden pernah tunjukkan jajaran pappara, balai bambu pengeringan ikan, di atas pasir. Kawasan itu sudah berganti menjadi beton yang diubah menjadi waterfront city dan tulisan “Kampung Air” yang disebut-sebut salah lokasi. Suatu waktu buku Citra Resep Tetangga juga diluncurkan di sana. Rumah ayah Saddam yang kini menjadi penginapan, tepat di seberang jalan, dulunya rumah panggung dengan tiang-tiang yang menyentuh air. 

Perubahan memang tak terelakkan. Kota kecil ini pun begitu. Budaya pelesiran kota ini jelas berjalan menuju normal lagi. Orang-orang dari luar tetap akan datang. 

Tapi, saya bukan golongan yang datang ke Labuan untuk liburan seperti kebanyakan. Rehat bagi saya di mana pun, sepanjang berjarak dari meja kerja dan bertemu perihal-perihal yang baru.

Tujuan saya ke Labuan atau ke tempat-tempat yang asing masih sama: menemui kawan lama dan teman baru. Menemui manusia.[]

Komentar

Postingan Populer