Buku Tamu di Meja Makan Kami - Catatan untuk Proyek 2024 dan Setelahnya

(Anwar Jimpe Rachman & Fitriani A Dalay)



Apa saja yang tertinggal seusai orang-orang baru masuk ke dapurmu?



MEJA KERJA

Kawan saya, Linh, mau ke Makassar. Tak seorang pun dia kenal di kota ini kecuali saya. Dia juga baru dengar ada kota bernama Makassar pada tahun 2018 dari saya. Saya buka peta dan menunjuk kaki ujung selatan Pulau Sulawesi kala kami jumpa bersepuluh dalam satu program terkait seni dan kebudayaan di Taipei. Seingat saya, baru dua kota yang dia tahu di Indonesia sejak 2017: Jakarta dan Bandung. “Tapi Indonesia memang sangat besar,” katanya.

 

Linh mengirim pesan bahwa dia punya 12 hari untuk berlibur. Kali ini dia penasaran mengunjungi Indonesia yang lain. Ia dapat penerbangan langsung dari Vietnam ke Bali. Tiga empat hari di Pulau Dewata kemudian ia berencana ke Makassar, dan terakhir ke Yogyakarta, sebelum ke Amerika dua tahun untuk studi kuratorial.

 

“Saya akan datang berdua (bersama Mai). Tolong pandu kami,” kata Linh. 

 

“Kalau kamu penggemar makanan laut tapi sedang diet, selamat datang di neraka,” tanggap saya.

 

Kami saling kirim ikon tertawa.

 

Mai datang enam jam duluan; transit di Singapura lalu ke Makassar. Pesawat Linh tertunda. Mai dengan menumpang wifi supir, datang naik bis Damri dari Bandara Hasanuddin. Saya minta dia cukup turun di seberang depan Kantor Gubernur, titik terdekat yang bisa saya jangkau dari Kampung Buku. 

 

Tapi sejam kemudian saya belum berkutik. Kampung Buku kedatangan beberapa tamu sejak menjelang siang. Mereka adalah Kathryn Wellen, Steve Druce dan istri, Sita Thamar, dan Uto—kawan lama yang jadi dosen di FIB Unhas—yang menemani mereka. Kathryn dan Steve ke Makassar untuk penuhi undangan seminar internasional di Soppeng. Para indonesianis seperti mereka memang biasanya sempatkan singgah di Kampung Buku untuk mengobrol, mencari atau membawa buku, juga bincangkan rencana-rencana yang berhubungan dengan penerjemahan dan penerbitan (karena saya juga menjaga gawang Penerbit Ininnawa, lini publikasi yang berfokus pada kajian akademis Sulawesi).


(Foto: Aziziah Diah Aprilya)

Ini momen langka. Saya meminta Piyo untuk siapkan perjamuan siang khusus. Soalnya ajakan santap tengah hari Bu Kathryn di dekat penginapannya terpaksa saya tolak sebab tamu bakal datang bersamaan. Gantinya, saya minta Kathryn makan siang bersama di Kampung Buku saja. Untungnya dia mau. Ada banyak tamu dua minggu terakhir Juli itu. Selain Kathryn dan Steve, beberapa hari sebelumnya dengan tanpa kabar, datang Campbell Macknight dan Ian Campbell. Juga Makoto Itoh, juga seperti biasa, muncul tiba-tiba. Profesor antropologi dari Jepang ini biasanya datang tanya kabar atau mengecek referensi baru yang tersedia di toko buku (hari itu dia pulang cepat untuk agenda lain). 

 

DAPUR 

Saya terkejut permintaan Jimpe yang tiba-tiba. Alangkah baiknya kalau minimal dua hari sebelumnya dia beritahu biar saya tidak merasa insecure. Setelah menghitung cermat, saya perkirakan akan ada dua puluh dua orang yang harus saya masakkan hari itu. Bisa dibayangkan jumlah itu berkelipatan tujuh dari biasanya. Sebenarnya ini gampang saja. Cuma, tentu saja, perlu waktu lama dan bantuan tenaga agar matang sesuai jam makan siang.

 

Malamnya saya mengirim pesan ke Anto, paggandeng langganan sayur saya, untuk bawakan esok pagi rempah-rempah yang saya perlukan. Saya wanti-wanti Anto datang dengan yang betul-betul segar agar aromanya benar-benar wangi saat diolah. “Siap, Bu! Nanti saya datang lebih pagi ke rumah Ibu.” 

 

Anto datang jam 07.30, lebih pagi dari biasanya. Semua pesanan sudah siap olah. Saya bersihkan seluruhnya lalu siapkan bumbu nasi kuning, sambil memasak telur lebih awal karena harus lanjut lagi ke pasar membeli ikan. 

 

Saya menuju ke langganan ikan saya di Pasar Toddopuli. Saya mencari ikan yang saya inginkan tapi tak ada hari itu. Saya putuskan membeli cakalang yang terlihat paling segar di antara yang lain. Saya dapat Rp80.000 untuk ukuran sepaha orang langsing. Harga yang lumayan untuk hari itu. Saya pulang tanpa berkeliling lagi seperti biasa. 

 

Saya segera bersihkan ikan, memberi bumbu untuk digoreng kemudian. Telur juga sudah matang. Isobel bertugas mengupas kulitnya. 

 

Saya lanjut meracik bumbu nasi kuning. Saya potong-potong, geprek, lalu tumis. Sengaja hanya menggepreknya agar menyisakan rimpang-rimpang yang cantik di dalam panci nanti. Saya ingin Isobel tahu apa saja yang berada di dalam makanan yang ia makan. Seperti perburuan harta karun! Setiap kali menggali nasinya dia akan menemukan potongan umbi rempah itu di sana dan di sini.

 

HALAMAN RUMAH

Saya terpaksa minta bantuan Andre untuk jemput Mai yang menunggu di sebuah kedai depan Kantor Gubernur. Mai lalu segera gabung dan mengobrol dengan para tamu, tentu juga mencicipi nasi kuning buatan Piyo.

 

“Ini nasi kuning terlezat yang pernah saya makan,” seru Kathryn, “karena saya biasanya melihat nasi kuning sudah ‘bersih’.” Kali ini Kathryn melihat di antara gundukan nasi itu menyembul bongkahan jahe, serai yang melengkung dan disimpul, beberapa lembar daun jeruk yang terselip, dan bahan lainnya masih bercampur nasi berwarna kuning cerah itu. Kathryn merasa mengerti kemudian mengapa nasi kuning bisa begitu harum dan enak.

 

Rombongan Kathryn dan Steve pulang sore. Linh mengirim pesan bahwa pesawatnya tertunda lagi. “Kelihatannya ada masalah di bandara. Maskapai lain juga sepertinya banyak yang batal berangkat,” katanya.

 

Saya dan teman-teman beristirahat sebentar. Kembali ke depan laptop sebentar untuk urusan-urusan yang ditunda karena sambut tamu. 

 

Saya tentu saja senang karena perjamuan tadi bukan sekadar mengobrol biasa. Ini kali pertama saya mengobrol langsung dengan Steve. Kesempatan itu jadi momen kami membahas soal penerjemahan karyanya The Lands West of Lakes: A History of the Ajatappareng Kingdoms of South Sulawesi, 1200 to 1600 CE (2009). Sudah tiga pekan saya menunggu balasan dari Brill, pemegang hak cipta buku Steve, terkait izin pengalihbahasaan buku tersebut. Begitu juga dengan Kathryn yang meminta maaf karena lupa mengirim email ke penerbit yang merilis bukunya The Open Door: Early Modern Wajorese Statecraft an Diaspora (2003).

 

Malam jam sembilan. Sehabis istirahat sebentar, ditemani Mai dan Isobel, saya ke bandara menjemput Linh. Kami akhirnya bertemu lagi setelah empat tahun. Dia keluar dari pintu ketibaan, menyeret koper dan tertawa. “Saya hampir ikut terbang lagi ke kota lain.” Oh! saya baru ingat kalau Ujung Pandang, nama lama Makassar, yang masih tertera di boarding pass. 

 

***

 

Esok harinya, Linh dan Mai masuk ke dapur kami. Entah sudah berapa tamu dan kawan yang datang ke tempat kami, baru mereka yang ‘berani’ (meminta izin) ke situ. Saya sangat akrab dengan pengalaman tumbuh saya di kampung, di tengah pertetanggaan yang masih terasa ikatan persaudaraannya. Sudah jadi hal biasa saja kalau ada tetangga masuk sampai ke dapur rumah kami. Begitu juga saya yang lebih sering masuk lewat dapur kalau ke rumah sanak dan tetangga di sekitar. Kalau saya jadi Linh dan Mai, mungkin saya akan bertindak sama, apalagi ke tempat kawan yang jauh (dengan tujuan liburan).


Linh dan Mai menjajal dapur kami. (Foto: Anwar Jimpe Rachman)
 

Kendati umumnya terletak di bagian belakang rumah masyarakat Bugis, dapur tak kalah penting dengan ruang depan. Dalam studi Millar, ruang yang biasanya ‘dikuasai’ perempuan ini merupakan medan utama tempat memutuskan hal-hal penting dalam siklus hidup orang Bugis, seperti pernikahan.[1] 

 

Masuk ke dapur adalah kesempatan yang mahal. Tidak semua orang rela memberi akses. Sebagai orang yang tumbuh di tengah masyarakat Bugis, kami beri kesempatan bisa dikatakan sebagai bentuk keramahtamahan. Mungkin niat Linh dan Mai juga sedang membandingkan yang mereka alami sehari-hari di Vietnam. Sekadar lihat apa salahnya. 

 

(Seterbuka apa kita? Bisa jadi bergantung pada bagaimana engkau membolehkan orang masuk ke dalam ruang paling intim seperti dapur. Di situ engkau harus memampangkan dan memamerkan sudut-sudut yang belum sempat dibersihkan, dengan sarang laba-laba yang nyaris tak terlihat. Seberapa berantakan engkau mengelola semua yang akan masuk ke perutmu. Orang-orang bisa saja akan mencibir caramu menggantung dan memamerkan bokong pancimu yang cemong. Bagaimana orang-orang yang masuk itu bakal curiga betapa berbahayanya tempat sendok, tempatmu mengeringkan alat suapmu, yang juga berisi bilah-bilah pisau dengan ujung dan tajamnya menghadap ke atas mengancam; seakan ada yang hendak engkau rencanakan. Juga kain-kain lapmu yang bergelimang percik noda minyak dan tumpahan kuah akibat dosa-dosa ketidakbecusanmu mengurus penggorengan dan masakan berkuah.)

 

DAPUR 

Pada dasarnya tidak ada orang yang tidak bisa memasak dan memasak itu bukan pekerjaan bergender. Yang tidak bisa hanya orang malas dan tidak ingin belajar. Ada yang masak sekali-sekali saja untuk kebutuhan khusus, misalnya untuk diri sendiri, mencoba-coba resep, acara masak bareng teman, atau juga untuk ajang berkaitan seni-senian di komunitas tertentu. 

 

Kenapa orang-orang jadi malas memasak? Padahal sebenarnya memasak itu menyenangkan dan sangat kontemplatif menurut saya. Saya punya dugaan soal ini. 

 

Pertama, terkait dapur yang ditempatkan di bagian belakang rumah. Jadi di sana bisa menjadi tempat semua barang dan hal-hal yang dianggap kotor disembunyikan atau tidak perlu dipertontonkan kepada tamu atau orang lain. 

 

Kedua, dapur umumnya didominasi oleh perempuan. Yang ada di dalamnya adalah perempuan-perempuan dengan tubuh beraroma bawang dan ikan goreng, kulit berminyak, dan rambut lepek dijepit cepolan. Umumnya tidak ada laki-laki yang hadir di situ karena mereka berada di bagian depan rumah, baik menerima tamu maupun tugas rumahan yang formal. 

 

Ketiga, desain dapur tidak betul-betul dipertimbangkan. Saya tidak pernah dapat penjelasan dari orangtua saya kenapa rumah lama kami di Wawondula, sekitar Sorowako, dapurnya punya pintu belakang kanan dan kiri. Dulu kami memasak memakai tungku kayu bakar dan kompor minyak tanah. Tungku berada paling belakang bersebelahan kamar mandi yang terletak di luar rumah, tidak seperti kebanyakan hunian zaman sekarang. Di belakang kamar mandi terdapat sumur yang airnya kami pakai mencuci, juga selang air ledeng yang melintas menyilang melewati tanah dan bebatuan dipakai untuk masak dan air minum.

 

Rumah kami tidak besar tapi rasanya begitu lega. Tak satu perabot pun berada di tengah yang menghalangi apapun. Semua merapat ke dinding. Di bagian tengah ada meja makan kayu besar untuk kami bertujuh sekeluarga. Setiap kali merasa kepanasan sepulang main, saya dan saudara-saudara baring-baring di dapur berlantai semen meski cuma berhasil sebentar. Selepas itu Mama pasti marah dan mengomel karena khawatir kami masuk angin. Waktu itu kami masih kecil-kecil dan berlima. Saya sekarang paham kenapa saat itu Mama galak betul pada kami. Hanya dengan Isobel saya masih sering mengomel, apalagi dengan lima bocah seperti saya bersaudara dulu.

 

Kembali ke soal desain. Dulu dapur memang didesain tertutup karena keadaan belum benar-benar aman. Pada era 1980-an, saya ingat masih sering ditakut-takuti soal parakang, petrus (penembak misterius), perampok bawa parang, pattado-tado, dan beragam cerita sebagai alat pengontrol massa tersebut. Orang-orang menutup rapat dapur dan rumahnya karena ada rasa takut yang dijaga takarannya oleh entah siapa. 

 

Kini setelah meninggalkan kampung dan hidup di Makassar, semua cerita-cerita pengontrol itu pindah ke dalam film dan sosial media. Saya jadi sedikit lega karena semua notifikasi sosial media sudah saya matikan sejak awal. 

 

Saya lalu berimajinasi punya dapur sambil menyesap teh dengan gaya ‘cantik’ seraya mengamati burung-burung di pohon belakang rumah kami. 

 

Keempat, desain dapur merupakan salah satu alasan yang bagus bagi seseorang agar suka memasak. Dulu desain dapur versi rumah lama kami (yang kami tinggali sekarang) dibangun pada awal 1980-an ditempatkan di bagian belakang berhadapan langsung dengan kamar mandi yang berukuran sama, yakni 2,4 m x 2,4 m. Tidak ada ventilasi atau jendela untuk lubang cahaya dan udara. Semua diambil langsung dari kamar mandi. Intinya dapur menumpang jendela angin pada kamar mandi. Ruang kian menyempit dengan plafon yang jaraknya dari kepala sedekat maut. 

 

Tapi rumah versi lama ini dibangun ketika lingkungan Panakkukang dan sekitarnya belum aman. Apapun yang ditinggalkan di luar pintu besoknya pasti hilang. Ember bocor dan sandal putus pun diembat maling. Alasan keamanan ini yang mengarahkan orang-orang mendesain dapur dan rumah mereka tertutup serapat mungkin pada masa itu.[2] Sekarang maling sudah naik kelas. Mereka lebih suka telepon genggam atau laptop karena mudah dibawa sembunyi-sembunyi.  

 

Keadaan ruang memang berpengaruh pada penghuninya. Saya lalu kerap kali mengumpat kepanasan dan merasa pengap di dapur lama itu. Saya paling jengkel bila saat memasak, suami serta teman-teman komunitas berkumpul dan tertawa di halaman rumah. Rasanya seperti menjadi orang yang dikurung dan dipinggirkan. Memasak jadi hal berat dan menjengkelkan waktu itu. 

 

Dari pengalaman tersebut, dapur kemudian kami renovasi menjadi sangat terbuka. Saat siang tidak perlu menyalakan lampu karena ada void sekitar tiga meter yang kami buka tepat di atas sink/wastafel dan kompor. Bahkan bukaan itu menjadi pemasok angin dan penurun suhu yang mujarab dalam rumah yang dibangun di wilayah kota yang panas seperti Makassar. 

 

Suasana di dapur sangat menyenangkan. Seperti berada di luar rumah. Ada empat jendela yang kami bangun berjejer menghadap langsung ke kebun dan Sungai Sinrejala yang mengalir ke utara dan menyusup di jembatan Jalan Abdullah Daeng Sirua. Kami bisa leluasa melihat pohon-pohon berbatang keras yang sengaja ditanam dan ditumbuhkan di halaman belakang. Sungguh menyenangkan melihat dedaunan yang hijau dan burung-burung yang kerap singgah di dahan pohon sambil berkicau riang. Pokok-pokok pohon ini juga yang selalu membentengi kami dari terpaan angin kencang yang datang dari atas batang sungai. 

 

Tentu juga ada risiko kecil, seperti serangga dan mahkluk-mahkluk kecil yang bisa terbang lalu leluasa masuk ke rumah, kelelawar yang kelabakan melewati jeruji besi karena mencium bau pisang matang yang kami gantung untuk jus sarapan, atau tempias-tempias yang nyaris tak terlihat bila hujan dan angin bertiup kencang dari barat atau selatan. 

 

Kini memasak menjelma sebagai kegiatan menyenangkan. Namun tetap ada waktu ketika saya merasa tidak ingin. Biasanya karena mau bersantai saja seharian atau sedang membantu tenggat kerjaan yang mesti dipenuhi. Namun lebih banyak waktu kala saya menikmati dan memiliki dapur kami sekarang ini. Setiap teman atau kerabat yang datang  ke rumah mengakui suka desain dapur kami yang sekarang sebab sangat terbuka. Sampai-sampai dahan dan daun jeruk nipis sesekali masuk ke sela bukaan itu, seperti ingin juga menghirup aroma masakan.

 

HALAMAN RUMAH

Saya sekeluarga menyisakan wilayah dapur untuk menjadi ruang keluarga dan wilayah privat di bagian atasnya. Kami sudah ‘menyerahkan’ halaman rumah, serambi, ruang tamu, dan bekas blok garasi rumah versi lama ini untuk publik. Bagian inilah yang sekarang menjadi perpustakaan Kampung Buku, ruang yang dipakai buat umum sekaligus tempat kerja para awak Tanahindie. Kami sengaja mengubahnya menjadi bentangan pertetanggaan baru di kota.[3]

 

Linh dan Mai datang kala langit Makassar diselubung musim kemarau. Tapi kelihatannya mereka santai saja. Kata mereka, Ho Chi Minh lebih membara. “Saya suka kok. Angin tidak berhembus sepoi di sana seperti di sini,” kata Mai. Linh memang pernah cerita bahwa suhu HCM bisa sampai 34 derajat atau lebih. Lebih gerah pokoknya.

 

Dari obrolan selama empat hari, kedua kawan ini sangat menikmati Makassar. Mereka melihat hal yang lain, seperti kerumunan orang di halaman Kampung Buku, sesuatu yang bisa bertentangan dengan kebijakan politik pemerintah di sana. Karena itu Mai membawa pulang Halaman Rumah / Yard dan Kota Diperam dalam Lontang. Untuk dia pelajari lebih lanjut, katanya. 

 

Hal lain jadi perhatian mereka adalah minum dan makanan gratis di Roti Maros Salenrang. Tempat itu kami singgahi sebelum ke Rumah Saraung bertemu Daus dkk kemudian ke kompleks gua karst di kawasan Belae, Pangkep, yang menyimpan lukisan-lukisan gua tertua sejagat. Menurut mereka, ada juga konsep usaha kuliner semacam itu di Vietnam, tapi ada penjaga dan pengaturan yang seperti terasa mengharuskan pengunjungnya untuk membeli. “Di sana (Salenrang), sama sekali tidak ada rasa-rasa itu.”


Kami ke kawasan Belae, ditemani Adi dan ayahnya yang menjadi juru kunci kompleks gua sejak 1980-an. (Foto: Daus AR)

Setiap berangkat dari Makassar ke daerah utara, saya selalu berusaha sempatkan singgah di situ. Jaraknya sekitaran empat puluhan kilometer di utara. Saya sangat menyukai tempatnya yang lapang dan bersih, ideal buat menyelonjorkan kaki setelah duduk lama di kursi kendaraan. Jajanan kue tradisional yang beraneka macam di situ cocok dibawa pulang jadi cenderamata. Tentu bonus kopi atau teh gratis yang bisa kita minum seberapapun. Saya selalu berkelakar kalau sudah memelankan kendaraan di dekat situ, “Pasukan Perintis (PEncari RotI yang Gratis), turun!” 

 

***

 

Sejujurnya, awalnya, saya cukup pusing cari tempat yang bisa dikunjungi selama Linh dan Mai di Makassar. Banyak yang menarik, seperti Toraja dan Bulukumba, tapi perlu berjam-jam lewat darat. Sedangkan waktu mereka praktisnya cuma tiga hari.

 

Untungnya tebersit minat Linh dan Mai untuk memasak. Ini bisa jadi pengalaman menarik. Kami juga akhirnya bisa nikmati dan mempelajari cara mereka berlibur (meski saya perkirakan hal seperti ini hanya berlaku bagi orang-orang tertentu dan terhadap ruang dan waktu spesifik saja). Mereka menawari untuk meramu dan mencobakan resep-resep Vietnam ke lidah kami. Tentu saja ini juga menjelma rehat sebentar dan pengalaman baru bagi pengecap kami. 

 

DAPUR

Bisa jadi model dapur kami itu juga yang membuat Mai dan Linh terdorong ingin memasak, setelah akhirnya beberapa kali boleh keluar masuk rumah untuk melihat desainnya. Rumah ini kami desain atas bantuan Cahyadi, arsitek muda yang sejak mahasiswa juga ikut berpraktik dalam beberapa proyek penelitian kota yang dikerjakan Tanahindie, seperti Paropo 3S.

 

Mai dan Linh mengobrol dengan kecepatan tinggi beberapa saat, lalu keluar berbahasa Inggris bertanya apa mereka boleh memasak makanan Vietnam di dapur kami. Saya iyakan saja. Jarang sekali ada tamu yang ingin memasak saat bepergian. Pernah ada sekali, yaitu teman kami, Chen Wei Lin aka Laurent, seniman-penulis dari Taipei, Taiwan, yang memasak di dapur lama kami. Waktu itu dia tinggal sebulan di Makassar saat bekerja jadi kurator untuk Makassar Biennale 2019. Tapi kasihan betul dia. Selama memasak, Laurent tiap saat keluar dari dapur dengan baju oblong hitamnya yang basah oleh keringat. Ruangannya memang sempit dan pengap. 

 

Kali pertama Mai dan Linh main ke dapur kami dia melihat sekotak jahe, lengkuas, dan kunyit. Mai tanyakan rempah-rempah itu biasanya dipakai untuk apa? Bumbu yang ditunjuk itu adalah sisa pakai buat nasi kuning untuk jamuan tamu-tamu kemarin, termasuk Mai kala hari ia baru tiba.

 

Mai dan Linh berencana memasak makanan harian orang Vietnam versi vegetarian. Kalau begitu berarti kami bisa pakai sayuran apa saja yang ada di kulkas yang sifat dasarnya manis. Sebetulnya ada tiga pilihan menu yang mereka tawarkan. Dua di antaranya menggunakan protein hewani. 

 

Mai bilang, dia akan memasak tempura, yang merupakan makanan sehari-hari orang Jepang. Namun ini disajikan bersama mi kuah yang berbumbu rempah lokal. Jadi dia menyesuaikan dengan apa yang betul-betul tersedia di pasar tradisional terdekat. 

 

Sebenarnya ada beberapa bumbu dan bahan dasar yang harus ada dalam masakan Vietnam untuk hari itu, tapi hanya tersedia di Lotte Mart terdekat, seperti jamur dan mi pipih. Saya beberapa kali menawari ke sana tapi ditolak Mai dengan yakin. Dia memilih membelinya di pasar tradisional. Si Mai ini memang agak lain. (Belakangan saya tahu, ternyata, gaya hidup Mai cukup berbeda dengan kebanyakan orang. Pada hari dia akan terbang ke Yogyakarta, ia memasak bubur ikan. Bahan dasarnya dari ikan bakar sisa makan semalam yang tidak habis kami santap beramai. Saat itu Mai bercerita bahwa di rumahnya dia berusaha buat sendiri segala kebutuhannya. Dia tidak memiliki sampah karena semua bisa ia olah kembali.)

 

Malamnya kami janjian akan ke Pasar Toddopuli sekitar jam 9 pagi. Esoknya mereka datang terlambat. Mereka kepanasan karena berjalan kaki dari Vida View ke Kampung Buku. Saya minta mereka istirahat dulu karena kelihatannya lelah dan kepanasan. Setelah menyelesaikan urusan dapur sedikit, kami berencana ke pasar menggunakan transportasi online. Apakah memungkinkan jika jalan kaki saja, tanya mereka. Saya bilang tentu saja. Tapi karena terlambat datang, matahari sudah tinggi sekali. Dan jika memaksakan jalan kaki bisa jadi mereka sudah tidak punya energi lagi untuk memasak.

 

Kami masuk lewat pintu timur pasar. Mobilnya berhenti persis di depan gerbang. Mai langsung menyambangi pedagang buah yang berdiri di bibir gerbang. Linh bilang dia suka dengan mangga yang rasanya asam. Ternyata Mai juga begitu. Saya jadi menyimpulkan bahwa orang Vietnam suka sama makanan yang asam-asam.

 

Saya membantu menawar harga buah. Lalu saya terjemahkan lagi ke bahasa Inggris untuk mereka. Saya tersenyum pada ibu penjual buah dan bilang, “Tidak bisa bahasa Indonesia.” 

 

“Orang apa?” tanya Si Ibu. 

 

“Orang Vietnam.” 

 

Seisi pasar lantas heboh. Bahkan ada seorang pedagang sayuran berusaha beramah-tamah meladeni mereka, dengan berusaha menggunakan kalimat sapaan ala Vietnam yang saya buta artinya. Si bapak pedagang sayur bahkan memberitahu harga bengkuang dalam bahasa Vietnam. Mungkin angka 1-3. Karena harga sayuran biasanya tidak lebih dari Rp 40.000,- per kilogram. 

 

Seorang ibu pedagang di seberangnya juga dengan senang hati melayani mereka. Bahkan ia bercerita kalau anaknya juga bekerja sebagai guide untuk orang Amerika. Oh, mungkin Si Ibu mengira saya berprofesi seperti anaknya. Pantasan dia mengumbar obrolan sangat akrab dengan saya. Tiba-tiba hati saya merasa hangat. Rupanya kesamaan nasib memang bisa mengikat orang-orang yang baru saling kenal. Linh membayar harga sayur sekilo ke Si Ibu. Kami berjalan lagi mengitar dan mengamati isi pasar.

 

Mai tampak sedang membandingkan harga sayuran di sini dengan di kampungnya. Setelah berbicara dengan Linh, dia bilang kepada saya, “Tidak usah yang ini.” Saya tanya kenapa? Dia bilang, ini lebih mahal dibanding harga di kampungnya.

 

Mereka lanjut menyambangi penjual sayuran membeli wortel, kol, dan bawang merah kupas. Selagi kami sibuk menanyakan harga sayur, ternyata Linh sudah menghilang dari pandangan kami dan menjelajah sendirian. Tak lama kemudian dia muncul dari kejauhan, mengangkat segelas es cendol di tangannya sambil tersenyum ceria. “Kamu juga mau? Saya mau pesan untuk Mai.” 

 

“Apa rasanya enak?“ 

 

Linh langsung menyodorkan gelasnya ke saya, “Ayo coba saja sendiri! Bagaimana?” 

 

“Hm, lumayan enak. Boleh!” 

 

Linh menghilang lagi. Si ibu tadi bertanya, “Enak toh? Itu saudaraku yang bikin. Dari pandan asli itu.” 

 

Saya tersenyum. Rasa cendolnya tiba-tiba terasa lebih enak dari sebelumnya di kepala saya karena keramahan Si Ibu. Memori dan kedekatan pada makanan memang bisa meng-upgrade rasanya seketika. Ini sudah berkali-kali saya buktikan sendiri. 

 

Kami lalu tiba di penjual tempe. Penjualnya Jawa. Logatnya medok. Mai menunjuk tahu di dalam kantongan dan menanyakan harga. Tapi dicegat si mas penjual tempe. “Itu tidak segar, sisaan kemarin. Yang ini saja,” sambil menunjuk dua ember berisi tahu penuh. 

 

Kami memilih tahu dan tempe berukuran besar, masing-masing Rp10.000,-. Mas penjual tempe memberi bonus satu potong tahu. Mai berterima kasih. Ternyata ini kali pertama Mai memasak tempe sekaligus mencobanya. Dia mengakuinya kemudian seusai memasak. 

 

Linh muncul lagi. Kali ini dengan satu kantong berisi dua gelas es cendol. Mai segera melibasnya di tempat. Tandas dalam sekejap. Mai memang pengemar berat segala macam es. Dia paling kagum dengan rasa dari es putar. Katanya, sejauh ini, itu desert paling lezat versi dia. Jelas-jelas dia cocok jadi teman seperkoncoan Isobel dan Jimpe. Mereka pemakan es akut. Apapun yang mengandung es mereka libas.

 

Sambil melihat-lihat lagi, saya bertanya pada Mai, “Mau saya foto?” Dia berseru mau. Dia hadapkan kamera ponsel ke arah kami berdua, “Ayo kita ambil foto selfie”. Sayangnya Linh masih menghilang.

 

Saya tanya Mai apakah masih ada yang ingin dia beli? Dia bilang sepertinya sudah cukup. Kami pun beranjak ke gerbang pasar. Di tengah jalan, kami menyadari Linh masih menghilang. Mai bilang dia akan kembali mencari Linh. Dia seperti pawang bagi Linh. Tampaknya dia tahu bagaimana harus mencarinya. Mungkin sudah beberapa kali bertualang bersama. 

 

Saya tawari Mai untuk menghubungi Linh lewat ponsel. Saya mulai menelpon Linh lewat aplikasi Whatsapp. Telepon tak diangkat. Mai minta saya mengirim chat ke Linh: “Linh, Mai bilang kita ketemu di penjual mi yang tadi ya.” Tak lama kemudian Linh menjawab pesan, “Oke”.  

 

Tiba-tiba Linh muncul begitu saja sambil tersenyum ceria, “Tidak ada buah-buahan di sana!” sambil menunjuk arah selatan. Biasanya di situ banyak penjual buah, kata saya. Mungkin karena sudah siang. Penjualnya semua berteduh. 

 

Kami bertiga melangkah menuju gerbang pasar; menunggu mobil pesanan online kami di tempat teduh. Saya minta mereka berdiri agak ke pinggir agar tidak menutupi jalanan. Penjual jam di bibir gerbang dan beberapa tukang bentor memelototi mereka karena penampilannya cukup asing, khususnya Linh. Hari itu dia memakai gaun licin hitam dengan topi jerami berbunga-bunga pita di tepinya. Mirip noni-noni Belanda dari zaman penjajahan. 

 

Kami bertiga segera masuk. Mendengar bahasa Linh dan Mai, supirnya langsung sadar kalau mereka orang asing. “Welcome, welcome to South Sulawesi,” sapa si supir. Saya mengira mungkin ini prosedurnya jika menerima tamu asing. Pak supir riang gembira mengobrol cas cis cus dengan saya karena penasaran dengan keduanya. Saya ladeni mengobrol. Menjawab pertanyaan-pertanyaannya soal kenapa bisa sampai ke Makassar dan mengapa mau ke pasar bukan ke mal. 

 

Tiba di Kampung Buku, Mai langsung membuka semua belanjaan. Linh istirahat dulu, membuka laptop sebentar. Mengecek ponsel. Saya duduk minum air putih. Saya minta Mai istirahat dulu tapi menolak. Dia bilang tidak bisa. Sudah hampir jam 12 siang; harus segera masak. Mai minta tolong ke saya untuk mengupas dan potong-potong bengkuang dan wortel. Ini juga kali pertama saya mengolah bengkuang. Saya minta Isobel bantu mengupas. Ternyata bengkuangnya agak tua; mulai susah dikupas. Gerakannya agak lambat, jadi saya turun tangan bantu kupas biar lebih cepat. Begitu bengkuang beres, saya lanjut ke wortel. 

 

Wortel lantas disulap menjadi semacam bakwan. Sayangnya saya tidak punya tepung terigu. Hanya punya tepung beras. Mereka bilang bisa pakai tepung apa saja, sebenarnya. Cuma akan lebih renyah kalau pakai terigu. Di rumah memang saya sengaja tidak menyetok tepung terigu. Saya ganti tepung beras agar lebih sehat. Saya alergi gluten. 

 

Saya keluarkan labu kuning dari kulkas dan mereka tumis pakai bawang merah dan minyak ikan. Saya diam saja mengamati proses ini. Selama ini saya mengolahlabu kuning kalau bukan diolah jadi bubur manado, ya dibikin jadi sayur santan atau kolak. Ini metode baru, kata saya dalam hati. Nanti kita coba rasanya!

 

Sementara itu Linh mengupas mangga. Mangga kecut diiris panjang pipih, diberi irisan daun jeruk purut yang dipotong sehalus mungkin dan dicampurkan minyak ikan dengan taburan bawang goreng di atasnya. Mirip dengan racca mangga ala orang Bugis dan Makassar. Bedanya, resep Linh berbahan banyak, sedang racca mangga hanya diberi garam dan cabai yang dihaluskan dan daging mangganya dicincang sampai mengeluarkan airnya. Jadinya akan sedikit berair. 

 

Tahu kemudian digoreng dan ditumis dengan taburan serai yang diiris setipis mungkin, daun jeruk purut, dan campuran minyak ikan serta sedikit kecap manis. Ternyata ini versi yang paling disukai oleh teman-teman di Kampung Buku. Lebih dekat dengan lidah kita tepatnya. 

 

Tempe dipanggang dengan sedikit minyak goreng dan sesendok VCO (virgin coconut oli, minyak kelapa murni). Aromanya ternyata sangat wangi dengan tambahan VCO. Saya pikir selama ini VCO tidak ada aromanya. Ternyata jika dipanaskan aroma minyak tana’-nya (minyak kelapa asli) keluar. 

 

Terinspirasi masakan ini, sepulang Linh dan Mai, saya memasak ikan masak bau peapi dan terdorong mencoba memasukkan sesendok VCO. Aromanya ternyata muncul dan rasanya memang seperti dicampurkan boka tana’ atau minyak kelapa (bukan sawit!). Eureka! Akhirnya ada solusi untuk dapatkan aroma khas itu tanpa harus kelabakan mencari boka tana’ yang memang sulit didapatkan dan berharga mahal.

 

Berpindah lagi ke sayur kol dimasak untuk menjadi kaldu buat mie kuah. Metode ini digunakan untuk mengambil rasa umami dari sayur. Dalam mangkuk kemudian disajikan mi kuah dengan taburan tempe dan tahu serta tumisan kol. 

 

Kemudian bengkoang disulap menjadi salad. Di dalamnya dicampur potongan bengkoang seukuran jari dengan irisan halus daun jeruk yang tulangnya telah dibuang, tak lupa disiram perasan jeruk nipis yang banyak dan irisan cabe.

 

HALAMAN RUMAH

Tiga jam berlalu. Panggilan makan datang. 

 

Di atas meja makan kecil kami terhamparlah mangga dibumbui bawang merah goreng, tahu bertabur potongan serai, mi kuah berkaldu sayur aromatik, tumis labu, tempe panggang, acar bengkoang bermandikan minyak ikan dan daun jeruk, dan bakwan wortel tanpa telur. Seluruhnya tanpa daging!


(Foto: Anwar Jimpe Rachman)



Masakan macam ini sebenarnya bukan barang baru. Kita semua, bisa jadi, terlalu genit untuk menyerap sebutan Barat bahwa ini adalah menu vegetarian. Padahal sejatinya, semua itu praktik lama. Athony Reid menyebut, budaya makan berbahan tumbuh seperti ini dikembangkan oleh lebatnya hutan wilayah Asia Tenggara, yang menutup kemungkinan lahirnya tradisi padang-padang gembala yang membuat Eropa serta Asia Tengah dan Barat begitu banyak makan daging. Makan daging selalu bermakna ritus karena berkaitan erat dengan upacara pengorbanan hewan. Penyembelihan, pembagian, dan makan daging hewan merupakan satu pesta yang diikuti oleh orang banyak. Di pusat agama Islam pun, kebiasaan makan daging menyertai upacara-upacara keagamaan yang penting, khususnya penguburan dan perkawinan, masih mengandung kesan-kesan pengorbanan hewan untuk para leluhur.[4]

 

***

 

Kami sekeluarga sebagai tuan rumah jelas tidak bertindak pasif. Segelintir teman yang sempat menjajal dan beraksi di dapur kami jelas menjadi hal yang kami perhatikan, atau tepatnya ‘kami tonton’. Ini bukan semacam keramahtamahan belaka. Serangkaian tindakan di situ juga menarik bagi kami pelajari—dari metode masak, resep, sampai cara penyajiannya.

 

Praktik ini mungkin bisa terjadi sebab lingkungan Kampung Buku mendukung untuk itu—mulai nuansanya yang terikat rumah, lekatan sosial tersedia dalam hubungan perkawanan (dan kerja) yang intim, dengan medan bernama halaman rumah yang batasan-batasan antara ranah privat dan ruang publik cukup kabur. Namun, tentu saja, itu terwujud juga karena yang datang meresponsnya adalah Linh dan Mai, dengan berlatar budaya yang berbeda. Kedua kawan ini juga tampak secara aktif memberi tanggapan terhadap apa yang mereka lihat di lingkungan kami.



Beberapa hari setelah kepulangan mereka, tumis ikan yang biasanya digoreng ‘telanjang’ atau bersalut tomat, cabai, dan kecap, kali ini berganti dengan jejeran ikan laut berbumbu rajangan serei. Sesuatu yang baru mengimbuh ke meja makan kami. 

 

Inilah kesan yang tertinggal dari kepulangan. Lebih awet. Bisa dikecap oleh lidah kami. Tak ada yang benar-benar menguap, sebagaimana asap yang melayang ke jendela di depan dan di atas dapur kami. 

 

Begitulah cara kami mengarsip kedatangan Linh dan Mai.[]



[1] Susan Bolyard Millar, Perkawinan Bugis: Refleksi Status Sosial dan Budaya di Baliknya, Penerbit Ininnawa, 2009.

[2] Berdasarkan Arsip Kotamadya UP Reg. No. 585, selama triwulan pertama tahun 1972, pencurian mendominasi kedjadian di wilayah ini dengan jumlah 9 kasus dan penganiayaan 6 kasus.

[3] Baca selanjutnya Anwar Jimpe Rachman (ed.), Halaman Rumah / Yard, Tanahindie Press, 2017.

[4] Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 (Jilid 1: Tanah di Bawah Angin), terj. Mochtar Pabottinggi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014, hal. 37-8.

Penjelasan Reid ini mengingat saya dengan ritual mattampung baik di pertetanggaan saya di Rappang maupun di sanak keluarga dari pihak ibu di Enrekang, peringatan 100 hari untuk seorang mendiang, dengan menyembelih sapi dan disantap bersama sanak keluarga dan tetangga, kendati tetangga Muhammadiyah saya hanya hadir dan enggan menyentuh makanan tersebut.





Komentar

  1. Membaca tulisan kalian, saya jadi ingat dengan niatku dulu, belajar menulis. Kemana dia sekarang?
    Mo tong ki liat itu jendela besar di dapur kampung buku bah

    BalasHapus
  2. Om Jim keren,saya suka dapur,saya suka caranya mama bobel membahasakan kesibukan para emak emak di dapur kondisi dapur

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul betul! saya pahami kodong para punggawa dapur bagaimana sibuknya tawwa!

      Hapus
  3. selalu kagum pada orang-orang yang mampu menuangkan pikiran dan pengalaman kedalam satu tulisan..selalu suka membaca, tapi dengan segala macam excuses tidak pernah bisa (atau meluangkan waktu untuk belajar) menulis ;p

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer