Pergi Jauh Tanpa Tujuan

SETELAH MENURUNKAN koper dan tas dari mesin pemindai Bandara Nabire, seorang lelaki Papua mencegat saya. Sosoknya berbadan tegap, besar, dan berbaju hitam yang agak ketat di tubuhnya. Saya jelas kaget; menahan langkah. Tapi dia sodorkan tangan, memberi salam.

“Terima kasih banyak sudah datang ke sini dan berbagi sesuatu,” kata lelaki yang kemudian saya kenal bernama M, seorang pemandu wisata ekstrem. Ia mengaku, dia di bandara untuk terbang mengantar dua orang dari platform media sosial terkemuka ke wilayah hutan Papua.

Ia rupanya dengar cerita Nomensen Douw, kawan yang bergiat di Kolektif Stereo, bahwa saya ke Nabire untuk bertemu dengan beberapa gelintir teman berbincang formal dan informal selama seminggu. Nomen baru kenal M juga saat di bandara kelas II itu ketika saya, Fauzan, Herman, Yulio, dan Hanum asyik bercanda menunggu pesawat datang. Di internal Stereo, Nomen terkenal lihai di bagian ini—bisa cepat nyambung dengan orang baru, dari pejabat sampai orang biasa.

Lelaki ini lalu berkeluh kesah bahwa banyak orang datang ke Papua untuk mengambil sesuatu tanpa menyisakan bagi orang-orang setempat. “Tapi saya lihat Adik lain, datang ke sini jauh-jauh malah berbagi sesuatu”. 

Kakak M lalu buka Facebook dan tunjukkan dokumentasi (termasuk foto saya) di forum bincang buku Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Sejarah Baru tentang Air, Migrasi, dan Perkampungan Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Parepare, dan Pangkep (Makassar Biennale – Tanahindie, Maret 2023). Lagi-lagi Nomen yang kasih lihat ke Kakak M lewat akun Page Kolektif Stereo.

Saya jelas terharu atas apresiasi Kakak M itu, tapi masih mencoba sadar dan menowel pikiran untuk ingatkan diri agar kaki saya tetap di tanah. “Terima kasih banyak, Kakak,” takzim saya. Saya hanya tambahkan penjelasan ke dia soal kegiatan bersama beberapa teman di kota yang segera saya tinggalkan siang itu.

Tapi tentu juga saya juga tetap harus menampik kata-kata pujian dari Kakak M. Sebenarnya beberapa agenda kecil di kota ini untuk nongkrong saja. Saya baru bisa tunaikan janji ke Fauzan untuk datang ke Nabire bertemu pegiat Kolektif Stereo. Saya hadir sekaligus berniat membantu persiapan Makassar Biennale 2023 di kota jeruk ini. Pernah saya berencana ke sana, tapi ongkos pesawat terlalu berat, ditambah pembatasan mobilitas di masa pandemi benar-benar menghalang.

Pertanyaan yang nyaris serupa, dengan kalimat dan cara yang berbeda, datang juga dari kawan yang lain. Dia guru sekolah di Intan Jaya. Dia di Nabire karena siswa sedang libur. Saya bertemu tiga malam di Kedai Komoke. Kami cepat akrab. Berkelakar banyak-banyak. Pulangnya saya dibekali cincin batu Nabire. Seperti juga Kakak M, ia juga ingin tahu, meski pertanyaannya hanya implisit, ‘mengapa saya datang ke Nabire’. Jawaban-jawaban saya kayaknya bikin dia tidak percaya bahwa ada orang yang datang tanpa maksud apapun. 

Nongkrong masih sering dimaknai duduk tanpa tentu—yang sebenarnya juga memang terkesan begitu. Kamus Besar Bahasa Indonesia menegaskan itu dengan tambahan penjelasan karena tidak bekerja. Pandangan ini jelas memiliki bias karena definisinya dari satu arah, yakni pengamat.

Tapi cara ini yang agaknya tepat dalam kebiasaan kebanyakan komunitas dalam konteks Indonesia untuk membicarakan hal-hal yang penting maupun yang tidak-tidak. Saya rasa mulai masif di kalangan anak muda sejak fasilitas internet menguat, meski budaya ini sejak lama berdasawarsa melekat dalam budaya hidup kalangan anak muda di Nusantara. Ini tampak sebagai jalan berdialog serius maupun dengan konteks berkelakar dan bersenang-senang dengan kalangan sebaya atau sepemahaman. 

Jawaban saya ke kawan guru itu simpel. Sudah juga saya ulang-ulang: saya datang bertemu (muka) Kolektif Stereo. Dia kemudian paham bahwa bertemu muka jelas beda efeknya. Apalagi kerja-kerja saya terikat waktu, tapi kebanyakan tidak dikerangkeng ruang. Jadi saya merasa cukup waktu untuk bertemu dan berkawan. Apalagi kalau tujuannya keluar dari Kota Makassar. Zaman menghadiahi kita perkembangan fasilitas internet yang tinggal dipakai maksimal untuk memudahkan urusan.

Tiga tahun terakhir jaringan Makassar Biennale dengan Stereo kerja bersama intens, mulai kala meneliti dan menulis untuk menyusun Ramuan di Segitiga Wallacea: Siasat Pengobatan Warga Selat Makassar, Laut Flores, hingga Teluk Cendrawasih (Makassar Biennale – Tanahindie, 2020), menggelar Makassar Biennale 2021 di Nabire, sampai menyusun bareng Riwayat Gunung dan Silsilah Laut. Tapi pertemuan-pertemuan kami, terutama 2020-2022 kebanyakan di Zoom, GoogleMeet, atau WhatsApp karena jarak. Pernah disela sekali perjumpaan di Makassar akhir tahun 2022 dengan beberapa gelintir anggota tim kerja lima kota. Sebagai penanggung jawab MB, saya jelas perlu berkenalan dengan teman-teman yang selama ini berada di dekat Stereo, pelaksana MB Nabire. 

Lalu momennya pun tiba. Giliran Nabire meluncurkan dan membahas Riwayat Gunung dan Silsilah Laut.


SEMANGAT yang memancar selama peluncuran buku Riwayat Gunung jelas membara. Obrolan buku di Kedai Komoke awal Juli itu memang ramai. Pertama kali dalam hidup saya bertemu stamina menyimak dan berdiskusi seperti ini. Saya mendampingi dua narsumber, Andreas Pekey (Wadir RSUD II Jayapura) dan Yeremia Degei (pegiat literasi). Bincangan buku mulai pukul 16.00 dan baru selesai 19.30. Tak sampai lima orang yang bergeser dalam hitungan saya. 

Yermias menanggapi bahwa sejak lama ia memimpikan tercipta suasana yang ‘akademis’ di Nabire. “Kepekaan akan muncul kalau kita berkumpul (seperti ini),” kata Yermias ke orang-orang yang hadir. Dia juga terkesan bahwa bekerja bersama dengan kota lain membuat cerita tentang Nabire juga bisa dibaca oleh orang luas selain manusia-manusia di kota itu.

Andreas turut memberi suara bahwa dengan buku Riwayat Gunung menjadi pintu masuk orang akan tahu lebih banyak soal Nabire, lalu membayangkan tulisan tentang Nabire kelak menjadi referensi bagi warga kota yang baru saja ditetapkan jadi ibu kota Papua Tengah tahun 2022 lalu. “Untuk itu, saya berterima kasih kepada tim MB atas pelibatan Nabire,” ujar Andreas.

Dua sesi dibuka untuk forum, kuota tiga pertanyaan selalu penuh. Itu juga masih ada beberapa tanggapan bonus. Selain itu, kami lanjut lagi obrolan yang informal dalam kelompok kecil. Saya bercakap dengan Kakak Andreas, bocah Nabire yang diceritakan dalam Riwayat Gunung dan Silsilah Laut, dan Kakak Larry, mantan anggota legislatif yang juga senior Andreas kala tumbuh di permukiman trasmigrasi.

Hari-hari setelah peluncuran menggila. Bertemu muka seperti ini jelas berbeda. Sesi pertemuan virtual yang sampai tiga kali bisa rampung hanya dua tiga jam nongkrong bersama. Seminggu kami mengobrol, menyesap kopi robusta dan arabika yang enak semerbak dari pegunungan Dogiyai; sesekali menikmati gorengan buatan Widya, adik Hanum, yang buka warung di depan Komoke. 

Lokakarya menulis yang belok jadi merancang program. (Foto: Dokumentasi Kolektif Stereo)


Memang kadang ada tanya jawab selama ngopi rutin tiap malam itu, tapi berkisar hanya pada bagaimana kerja Kolektif Stereo dan jaringannya dalam mempersiapkan MB 2023. Ada juga pertanyaan perihal bagaimana menghidupkan Kampung Buku, perpustakaan yang saya asuh bersama kawan-kawan di Makassar. Ani dari Papua Mengajar juga ingin tahu bagaimana Isobel bersekolah di rumah (unschooling). 

Sesi yang cenderung formal, seperti lokakarya menulis dan meneliti, malah saya bantu pandu dan belokkan menjadi merancang program bersama beberapa orang dan komunitas yang hadir. Setelah berjalan setengah jam, yang hadir terkesan lebih butuh agenda kerja bareng, seperti ‘menangani’ pengungsi yang ditemani seorang kawan yang bekerja sebagai bidan di sana. Tidak semua yang berkumpul hari itu saling kenal (mereka datang setelah lihat poster kegiatan di medsos) atau pernah kerja bersama, ditambah pertimbangan-pertimbangan yang saya simpulkan dari hasil obrolan para peserta hari itu juga teman lainnya di Nabire. 

Latihan merancang rencana kerja juga bisa menjadi satu cara yang bisa mengintensifkan pertemuan di zaman ketika manusia-manusia lebih sering terpisah karena kesibukan bersama robot (baca: gawai). Apalagi wilayah Papua umumnya merupakan daerah yang sejak lama terkoyak kekacauan, terutama terkait isu berskala nasional. Membiasakan bertemu dan bekerja bersama bagi kalangan muda bisa menghindarkan mereka pada jebakan-jebakan yang bisa mengacaukan kelanjutan hidup mereka kelak. Saling percaya rasanya bisa tumbuh dari situ. 

Kadang keadaan semacam ini bisa parah karena pandangan-pandangan yang berpeluang menjebak, yaitu membandingkan kehidupan anak muda dan intelektual di kota tempat mereka pernah berkuliah dengan keadaan di kota asal. Banyak anak Nabire yang pernah menempuh pendidikan tinggi di kota lain, semisal Makassar atau kota-kota di Jawa. Jelas, mempersamakan, kata saya menjawab pertanyaan, cara yang tidak adil menyamakan dua tempat yang jelas berbeda budaya dan fasilitas. Bahkan bisa menjadi bumerang bagi pikiran dan arah tindakan seseorang atau kelompok, yang bisa pelan-pelan menggerogoti semangat individu dan komunitas tempatnya bergabung. 

Dalam satu dua kasus yang pernah dialami teman-teman saya di Makassar, mereka menyerah dan kembali ke kota yang menjadi rujukannya. Karena itu mengapa mengubah keadaan yang dipandang tidak sesuai harapan, begitu saran saya ke Kolektif Stereo dan kawan baru saya yang berkumpul menyesap kopi beberapa malam, adalah tindakan terpenting yang perlu diambil. Tak ada yang bisa menolong dan memperbaiki keadaan selain diri sendiri. 

Saya juga sarankan ke kawan-kawan itu agar membangun perpustakaan bila ingin membangun komunitas. Mengumpul, meramu, dan menulis serta mengarsipkan tentang diri sendiri dan sekitar bisa menjadi sesuatu yang kecil tapi ampuh mengubah keadaan terdekat meski sangat pelan. Catatan-catatan tersebut bisa bahan utama yang dipelajari ulang oleh siapa saja.

Lokakarya penelitian dan penulisan di markas Kolektif Stereo. (Foto: Fauzan Al Ayyuby)

Sehari menjelang kepulangan, saya habiskan waktu dengan awak Kolektif Stereo di lantai dua rumah Fauzan yang menjadi markas mereka. Saya, Fauzan, Nomen, Yogi, Julio, dan Herman berkumpul di karpet dekat rak buku, tempat saya tidur selama di Nabire. Sesi ini rasanya hanya satu atau dua jam. Selebihnya kami racik kopi bungkusan, banyak berkelakar, dan menikmati umpatan-umpatan dari Yogi. 

Yogi, lelaki beranak satu, tiap hari menghabiskan malam di kelontong pinggir jalan miliknya yang menjual pinang sirih. Dia aktif mendampingi pedagang pasar. Hanya Yogi yang selalu bertelanjang kaki ke mana-mana (kecuali saat harus ke Makassar akhir tahun 2022 lalu). Dia memelihara cambang yang tumbuh lebat di dagu dan pipinya dan mengunyah sirih pinang.

Rentetan umpatan Yogi biasanya muncul karena cerita aneh-lucu-mengagetkan dari Nomen. Suatu waktu Nomen di sekitar Kampus UI di Depok memutar roda dua di jalan yang dilarang berbelok. Ada polisi di dekat situ. Ide brilian Nomen muncul saat kepepet. 

“Syaya cidak bisya bicara Indonesya,” kata Nomen, mencoba menyamar menjadi turis dari Afrika. 

Sialnya, salah seorang petugas itu bisa bertanya balik pakai bahasa Inggris. 

Nomen gagap, tidak bisa menjawab lagi.

“Ampun, Bapa. Saya putra asli Papua.”

Menurut awak Stereo, konon ia mantan rapper. Saya percaya kalau melihat gaya humor dan rambutnya yang tampaknya gabungan antara Basquiat dan Onana, kiper Manchester United. Ia juga pemain sepakbola di klub amatir berposisi bek kiri. Humor Nomen memang berpindah-pindah alam—dari terang ke ke gelap.

Siang itu juga Yogi melihat kalung emas menyembul dari kaos Nomen. 

“Itu emas, Nomen?”

“Iyo… emas Freeport toh?”

Jelas itu pasti disambut tawa dan umpatan Yogi yang sudah antri secara default mulai dari babi, anjing, setan iblis, sampai pukimak, pasti segera meluncur.

Selain Yogi dan Nomen, Kolektif Stereo juga berisi pengasuh yang berskema lengkap, seperti Fauzan dan Herman yang menggawangi dunia penulisan, Julio yang di sela waktu kerja baristanya mengisi slot dokumentasi, sedang Manfred jarang aktif karena waktunya dipakai bekerja sebagai jurnalis. Tentu juga ada barisan baru seperti Mikael yang masih malu-malu tapi menyimak dari dekat.

Dari lantai dua ini pandangan masih bebas sampai gunung di selatan dan timur Nabire. Kadang juga suara ombak Teluk Cendrawasih terdengar bila angin sedang kuat. Suara kotek dan kokok ayam juga jelas dari sekitar, sejak pagi, siang, sore sampai tengah malam. Dengan begitu kota ini lanskapnya terkesan lebih luas dan jauh lebih hening dibanding Makassar, yang justru dipenuhi motor yang berbunyi knalpot bak kaleng yang dipukul atau suara ambulans yang terbirit-birit. 

Suasana ini mungkin saja tidak bisa saya dapati andai saya tak melarang Nomen untuk mencari penginapan. Nomen mengaku, beberapa hari sebelum kedatangan saya, ditugasi Fauzan mencari kamar untuk saya. Saya lebih senang tidur di rumah kawan ketimbang hotel, apalagi untuk keperluan nongkrong. Apa enaknya terpisah dari orang banyak yang justru saya datang untuk bertemu mereka. Menyendiri di kamar dan dibekap udara ber-AC juga masih semacam siksaan bagi saya. 


AJAIB JUGA rasanya bisa sampai di Papua. Satu cita-cita saya sudah kesampaikan; menginjakkan kaki dari bentangan barat sampai timur Nusantara (ini gara-gara ‘keracunan’ Balada Si Roy saat masa SMP-SMA!). Saya pernah pijakkan kaki di tanah Aceh dan Nias tapi perjalanan saya ke timur baru sampai Maluku dan sekitarnya. 

Pernah punya rencana ke Papua pada pertengahan dasawarsa 2000. Tapi batal. Kala itu saya dengar nama saya dicoret dari rencana tim peneliti yang akan berangkat. Alasan nama hilang itu tidak jelas. Saya diam saja. Keadaan kawanan saya sedang runyam saat itu. Jadi saya pilih hindari pembicaraan tersebut; tak ingin meruncingkan situasi. Rezeki tak akan ke mana, begitu saya dalam hati. 

Rezekinya memang datang. Tapi tiba setelah 15 tahun. Akhirnya pada usia kepala empat baru sempat jejakkan kaki di pulau raksasa ini. Saya daratkan kaki saya di Kota Manokwari. Meski hanya transit tiga jam, tapi inilah kota Papua yang saya kenal pertama. (Belakangan baru tahu kalau Merauke juga di Papua. Tapi apalah daya saya waktu masih sekolah dasar. Semua pelajaran dan nyanyian adalah peniruan dan perintah dari guru, yang juga dapat perintah dari rezim). Itu bermula suatu hari kala masih umur 9 atau 10 tahun, saya mendengar ratapan Hajjah Namri, tetangga yang juga kerabat dekat saya, kala mendapat kabar kakaknya meninggal di kota itu. 

“Memang banyak orang Bugis di sini,” kata Diana, teman sekampus dulu. Kami berbincang dan berbagi kabar masih di dalam pagar Bandara Rendani. Tampak di luar bandara sebuah warung coto Makassar dengan warna spanduk merah, seperti warna seragam kandang PSM. 


SETIBA di Bandara Hasanuddin, seperti yang jadi kebiasaan saya, tak langsung mencari kendaraan untuk pulang. Saya biasanya mencari kedai kopi, sekadar untuk duduk bengong barang setengah jam untuk tidak melakukan apapun, kecuali menghangatkan badan yang tak begitu bersahabat dengan AC. 

Saya lalu teringat saat keberangkatan saya ke Nabire pekan lalu. Seorang petugas maskapai sudi membulatkan kelebihan 2,5 kg bagasi saya agar tak perlu bayar. Isi muatan dalam kardus besar itu adalah jatah buku Riwayat Gunung yang saya bawa untuk tim kerja MB di Nabire (sebulan sebelumnya saya mengirim 3 kg buku ke Nabire dan harus bayar Rp 700-an ribu). 

Saya ucapkan ‘terima kasih banyak’ subuh itu kepada si petugas perempuan karena meloloskan barang tersebut. Ketika menuju pulang, begitu sudah di ruang tunggu Bandara Nabire, ada jabat tangan dan ‘terima kasih banyak’ yang hangat dari Kakak M. 

Itu kebetulan saja? Saya rasa tidak. Saya selalu percaya: apa yang kamu beri, itu pula yang kembali padamu.

Keberangkatan dan kepulangan saya memang sendirian. Tapi tiba di Nabire, saya berjumpa dengan rasa ingin tahu yang besar dari banyak kawan di sana. Dari pertemuan-pertemuan itu, kami melakukan perjalanan yang jauh. Kami adalah orang-orang berangkat bersama dan pergi jauh, persis kata sebuah pepatah.[]




Komentar

Postingan Populer