Seniman di Belakang Saja (Mengamati Proyek Songkabala Lae-Lae! dari Luar dan Dalam)


SEORANG PEREMPUAN muda menangis di tengah kerumunan di bawah pohon asam besar yang bercabang bagai katapel raksasa. Beberapa kerabat perempuannya mencoba menenangkan. Si perempuan jadi seperti gagu, merengek, dan berurai air mata. Ia hentak-hentakkan kaki seperti bocah kehilangan mainan. Ia mengisyaratkan kedua tangannya menabuh, seraya menunjuk ke arah keramaian yang mengelilingi pemain ganrang, gendang Makassar. Si perempuan muda berlari ke sana lalu menabuh ganrang.


Beberapa saat kemudian, si perempuan muda siuman dan berlari masuk ke rumahnya, yang rupanya hanya dibatasi pagar dengan sang pohon asam yang berbatang empat rentangan tangan orang dewasa itu.


Upacara Songkabala Lae-Lae! pun resmi dimulai!


Gendang merupakan alat musik utama dan dianggap bertuah di Sulawesi Selatan. Itulah kenapa menjadi alat musik yang dipukul kala membuka acara. Benda ini dipercaya memiliki roh. Pemandangan biasa bila ada penari atau yang sekadar menonton jadi kerasukan bila mendengar gendang ditabuh, seperti yang terjadi pada si perempuan muda tadi. 


“Iya, sering juga tiba-tiba tarian ditemukan di situ. Orang-orang kemasukan terus menari tommi (sekalian)!” mendiang Daeng Mile tertawa, dalam satu kesempatan obrolan 2014 silam.


Kata rencana yang beredar, upacara tolak bala sebenarnya baru akan digelar sekitar jam lima. Tapi dibuka cepat jelang jam empat karena ada yang kerasukan. Usai tabuhan ganrang tersebut, prosesi warga berikutnya adalah ziarah ke makam orang keramat di ujung barat pulau. Sekali lagi, dengan iringan tabuhan gendang, warga berdoa di situ. 


Beberapa saat kemudian kerumunan bergerak kembali ke sekitar pohon asam besar. Di bagian pintu banker yang menghadap laut, lelaki pembaca doa sudah menghadapi lima baki berisi pisang, kelapa, dupa, songkolo (ketan) putih-hitam-kuning, kari kambing, makanan olahan hasil laut, dan lukisan bernuansa biru karya Nur Ikayani aka Kika yang dikerumuni sekelompok perempuan Lae-Lae berbaju bodo kuning, jingga, merah, dan hijau.


Lukisan itu menggambarkan sesosok perempuan, yang disebut Kika merupakan hasil mimpinya suatu waktu di Benteng Fort Rotterdam. Dalam mimpi, Kika melihat perempuan tersebut membuat perahu kertas dan melayarkan ke barat, ke arah Pulau Lae-Lae. Belakangan, menurut informasi yang dikumpulkan oleh Kika, dia adalah perempuan Jugun ianfu atau budak seks tentara ketika Jepang berkuasa di Makassar. Sosok ini kemudian digambarkannya sebagai figur pelindung warga Pulau Lae-Lae yang sedang berjuang melawan reklamasi.


Di bawah asam bernaung satu bangker berpintu dua yang diduga peninggalan Jepang sisa Perang Dunia II. Baru-baru ini ditemukan dan digali warga selama 19 hari. Satu banker lagi ada di timur. Kedua tempat persembunyian tentara itu kini ada di dalam pagar rumah warga.


Dari bangker, upacara bergerak ke utara, menuju rumah Daeng Kanang, seorang sesepuh Lae-Lae. Di sepanjang jalan, warga menyajikan makanan laut hasil olahan sendiri, seperti tiram bakar (atau tumis?), lawar ikan teri, tumis cumi, anggur laut, sampai acar mangga. Sebelumnya, di gazebo sepanjang jalan menuju bangker tadi, warga siapkan di nampan aneka kue. 


Siapa pun boleh mencicip semua makanan tersebut (dan memang bergantian pengunjung menjumput atau menyendok). Sejujurnya, para perempuan penyedia penganan dengan rasa laut segar itu adalah ‘demo masak’ yang sesungguhnya. Mereka sengaja melakukannya untuk sampaikan pesan bahwa makanan-makanan sejenis itulah yang bakal hilang bila reklamasi menggulung pulau tersebut.


Rumah Daeng Kanang sudah penuh orang. Matahari sore bersinar terang di depan serambi. Perempuan sepuh ini konon berumur 90-an tahun—jelas menyaksikan langsung banyak peristiwa. Ia juga penari. Proses ritual singgah di situ. 


Daeng Serang, maestro ganrang, menabuh gendang, mengiringi Daeng Kanang menari di kursi. Beberapa penari senior seperti Maria Darmaningsih dan Nungki Kusumastuti (dua pendiri Indonesia Dance Festival, IDF), Nurlina Syahrir (penari senior dan pengajar dari UNM), dan dua penari pria dari tim Ida Bahru juga ikut merespons gebukan Daeng Serang.


Begitu bunyi ganrang Daeng Serang berhenti, orang-orang bergerak lagi menuju ke bagian tengah pulau, tepatnya di dekat sumur tua, sumber air utama penghuni pulau. Sebelum mencapai perigi tersebut, warga memajang foto-foto arsip beberapa keluarga dan dokumentasi tolak reklamasi. Anak-anak banyak berkumpul di situ. Seorang pemuda menjelaskan tentang gambar yang ditempel di dua dinding yang mengapit jalan sempit tersebut. 


Bergerak maju sedikit, para pejalan mendapati meja yang memajang benda-benda pusaka, terutama badik. Tak jauh juga dari situ, Di bawah rindang pohon kersen, sekelompok gadis menari diiringi musik joget Flores populer. Penonton ikut bergoyang. 


Titik berikutnya adalah makam di sudut utara. Di situ sesaji pisang dan songkolo (ketan) bermahkota telur diletakkan dengan iringan gendang, seperti saat ziarah makam pertama. Dua lelaki lalu memperagakan gerakan pencak silat dengan iringan tabuhan gendang. Daeng Bau, salah seorang perempuan penghuni Lae-Lae, mengunjukkan lukisan karya Kika ke para pengunjung, lalu berlanjut berorasi dan penegasan soal penolakan warga Lae-Lae terhadap reklamasi.


“Kami hari ini bukan demo tapi ingin menyampaikan bahwa inilah simbol kami sebagai nelayan. Kami ini istri nelayan. Kami perempuan nelayan. Kami memeluk laut dan laut pun memeluk kami. Kami tidak ingin dipisahkan dari laut dan karang,” seru Daeng Bau di atas kursi.


Rombongan bergerak lagi ke etape terakhir, yakni di ujung utara pulau. Di sanalah songkabala ditutup dengan melarung, tepat tatkala matahari sudah di kaki langit barat. Wajah-wajah yang berkerumun bermandi semburat matahari berwarna jingga. 


Yang hadir mengabadikan momen itu pakai hape dan perekam lainnya. Pemandangan matahari terbenam tanpa terhalangan begini nyaris nihil di Makassar daratan. Harus menyeberang ke, misalnya, Lae-Lae atau pulau lain yang lebih di luar.


Pembaca doa Songkabala Lae-Lae! melarung sesajian. (Foto: Anwar Jimpe Rachman)


PULAU LAE-LAE merupakan salah satu pulau terdekat dari Makassar—10 menit dengan perahu bermesin satu. Sejak lama pulau berpasir putih dihuni sekisar 2,000 jiwa ini menjadi incaran investor. 


Awal Maret 2023, nelayan dan sejumlah kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Lawan Reklamasi Pesisir (Kawal Pesisir) melakukan aksi parade dan membentangkan spanduk 30 meter sebagai bentuk penolakan atas reklamasi atas pulau ini. (Spanduk kecil pernyataan ‘tolak reklamasi’ sampai sekarang banyak dipajang di banyak titik di pulau ini.) Mereka memprotes rencana Pemprov Sulawesi Selatan mereklamasi pulau tersebut untuk menjadikan destinasi wisata baru. Menurut Mongabay, reklamasi ini dilakukan sebagai lahan pengganti kekurangan yang sebelumnya telah disepakati antara Pemprov Sulsel dan pengembang Center Point of Indonesia (CPI) seluas 12,11 hektar.[1]


Upaya mereklamasi Lae-Lae sudah terjadi sejak tahun 1997. Ketika itu warganya terancam rencana pembangunan yang digagas oleh Abdul Latif, menteri cum pengusaha masa Orde Baru. Merespons gejala itu, Firman Djamil membuat performance art berjudul Tujuh Lapis Lelaki Berbaju Bodo Menarik Benang Merah pada JOMA (Journal of Moment Arts), 8 – 9 Oktober 2002. Dengan baju bodo tujuh lapis yang dikenakannya di gerbang Benteng Fort Rotterdam, Firman bergerak ke barat, bersimpuh di pantai dan melambai ke arah pulau. “Lae-Lae, mendekatlah! Lae-Lae, jangan pergi… Dekatlah padaku, Lae-lae! Lae-Lae, kemarilah!” [2]


Itu bukan nujuman, sanggah Firman, yang turut hadir di Songkabala Lae-Lae!. Ia sebenarnya melambaikan tangan agar pulau itu tidak diambil orang, meskipun lantaran aktivitas reklamasi, daratan pun bertambah di sekitarnya, membuat Lae-Lae terasa semakin dekat. Bila berdiri di ujung selatan Lae-Lae, kita dan Masjid 99 Kubah rasanya hanya diantarai air selebar dua ratusan meter.

Tanah reklamasi yang kian mendekati
Pulau Lae-Lae (Foto: Anwar Jimpe Rachman)

Firman lantas menarik benang merah ke gedung dan perkantoran, simbol-simbol kekuasaan, antara lain ke lembaga pemerintahan, keamanan, kantor pos, kantor bank, dan berakhir di Kantor Wali Kota. Firman menyerahkan surat ke setiap tempat yang didatangi itu. Di kantor Wali Kota, Firman membacakan pidato tentang riwayat singkat Kota Makassar di dalam ruangan, disimak oleh orang-orang berseragam pegawai.[3] 


Firman kemudian turun ke lapangan depan kantor. Di bawah tiang bendera, ia mencuci piring dan pakaian (pakai sabun dan menghempasnya, seperti cara cuci kebanyakan orang di kampung). Firman lalu bergerak ke rimbunan bunga di bagian pagar dan menjemur cucian.


Seluruh prosesi Firman tampak ingin menegaskan bahwa tempat-tempat menggodok kekuasaan dan diputuskan sampai berefek (sayangnya, lebih sering, buruk) terhadap warga mestinya menjadi pelindung dan “rumah” bagi mereka. Bukan mengasingkan dan melemparkan warga, sebagaimana yang terjadi terhadap beberapa kepala keluarga penghuni Lae-Lae pada 1997, yang berdasarkan Daeng Bau, dipindahkan ke Salodong, Untia, pesisir bagian utara Makassar. 

 


SETIAP TITIK persinggahan songkabala merupakan titik-titik penting bagi warga dan pulau. Warga dengan jelas ingin menunjukkan itu semua, termasuk tempat-tempat baru yang ditemukan seperti bangker sisa masa perang. Dengan merawat cagar budaya seperti itu, maka terlindung pula wilayah sekitarnya. Dua bulan setelah songkabala, Dinas Kebudayaan Makassar sudah memagari bangker tersebut, lengkap dengan plang larangan merusak, lengkap dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun dan denda maksimal 5 miliar.


Songkabala merupakan upacara tolak bala yang setiap tahun digelar sederhana di Lae-lae, dalam bentuk waga berdoa bersama. Hanya kali ini dibuat besar. Acara ini juga merupakan koreografi sosial yang dikerjakan oleh Gymnastic Emporium (GE) bersama warga. Residensi GE di Lae-Lae difasilitasi atas kerja sama Makassar Biennale dan IDF. 


“Kita cari cara untuk menyuarakan isu-isu reklamasi yang dialami masyarakat pesisir saat ini dengan pendekatan seni, sejarah, dan kebudayaan. Kita melewati situs-situs sejarah di Pulau Lae-Lae, dan ketemu juga subjek-subjek yang ada,” terang Direktur Artistik GE, Irfanuddin Gozali.[4]


Sejak awal, kami (MB, IDF, dan GE) sepakat bahwa warga yang harus diberi porsi besar untuk kegiatan ini. Saya pun sampaikan tentang ini saat datang mengantar secara formal GE dan berbincang resmi dengan warga Lae-Lae pada awal Agustus 2023. 


“Makassar Biennale dan GE akan ada di belakang warga. Wargalah yang mengatur semua kegiatan ini,” hantar saya, yang datang bersama Gozali dan Muhammad AB (Abe) saat itu, di hadapan warga yang berkumpul di gazebo dekat pohon asam. 


Kami langsung menyambung pertemuan awal rencana ini dengan memberi kesempatan warga membuat daftar apa saja dalam rencana mereka yang akan ditampilkan. Itulah mengapa kegiatan ini memberi ruang demikian besar pada warga, sebagaimana yang tampak sepanjang sore itu. 


Slayer merah, penanda warga yang jadi tim kerja 
Songkabala Lae-Lae! (Foto: Anwar Jimpe Rachman)

Sejak dari Dermaga Kayu Bangkoa, warga yang mengenakan slayer merah (penanda warga yang jadi tim kerja) menyambut—tentu dengan bantuan dari tim MB. Sampai di plang ‘selamat datang di Lae-lae’, tim MB dan pemuda pulau menyambut di meja registrasi. Tak berapa lama tarian penyambut Padduppa oleh lima perempuan muda Lae-Lae yang melindungi wajah mereka dengan bedak kuning basah (bedak yang umum dipakai petani dan nelayan di Sulsel), disambung hiburan musik oleh Has (suami Kika) yang mengajak hadirin bergoyang massal, dan teater dengan pelakon yang seluruhnya juga oleh anak muda setempat. Mereka mengatur diri sendiri. Abe menyebut bahwa anak-anak yang di hari biasa berkeliaran di pulau, pada hari Songkabala mengikutinya dengan cara mereka sendiri. 


“Ini satu langkah maju saya dapatkan selama advokasi di pesisir Makassar. Biasanya jalan terpisah-pisah. Metode advokasi lama sudah kalah, kenapa harus dipakai lagi,” terang Taufik, salah seorang aktivis yang mendampingi advokasi Lae-Lae.


Para punggawa LBH Makassar juga mengatakan bahwa ada kejenuhan dalam metode yang dipakai advokasi selama ini. “Kami sedang mencari cara baru,” kata Ketua LBH Makassar, M Haedir, kepada saya, awal Agustus 2023. Dalam pertemuan itu Haedir didampingi Azis Dumpa dan pengurus lainnya. LBH kemudian mempertemukan MB dengan Taufik, yang belakangan salah seorang yang menemani GE di Lae-Lae.


Spanduk TOLAK REKLAMASI banyak bertebaran di Lae-Lae. (Foto: Anwar Jimpe Rachman)


ISU REKLAMASI menjadi salah satu fokus utama Makassar Biennale 2023 di Makassar, yang dipertegas dengan subtema “Darat Kian ke Barat”, merupakan hasil penelitian tim MB Makassar dalam Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Sejarah Baru tentang Air, Permukiman, dan Migrasi di Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Parepare, dan Pangkep (2023). Selain Lae-Lae, karya-karya di MB menceritakan pesisir Makassar lainnya, seperti Mariso dan Mangara Bombang yang mengalami persoalan yang sama.


“Ini seperti bunuh diri kelas,” tanggap Gozali, tertawa, dalam diskusi sehari setelah Songkabala, di Rumata’ Art Space. Tetapi, lanjutnya, dalam rentang waktu itu menjadi pengalaman yang sangat berharga buat GE. Menurutnya, ia bersama Abe, Abdi Karya, dan Fajar Riyanto sebelum-sebelumnya berada di “depan”, sebagai penampil. Kali ini, berbeda karena mereka hanya mengorganisir dan warga yang menjadi narasumber utama. 


“Seni itu harusnya begitu. Harkat kesenian mesti membantu warga,” kata Maria Hartaningsih. 


“Sayangnya ekspos acara ini tidak sampai ke kampus. Lain kali kami juga diberitahu. Tapi acara ini menyuguhi kita pengalaman bagi seluruh panca indera kita,” tambah Nurlina.


Selain Maria dan Nurlina, hadir pula dalam diskusi itu Nungki Kusumastuti, Linda Mayasari, Daeng Bau bersama beberapa warga dan aktivis pendamping Lae-Lae.


Usai magrib, rombongan warga Lae-lae tidak jadi pulang. Mereka tertahan karena ada dua orang kerasukan yang harus ditangani sampai menjelang jam sepuluh malam.


Urusan rencana reklamasi memang ribet. Sampai leluhur pun harus muncul memprotes.

 



SEJAK AWAL, ketika mulai mengundang calon seniman yang berpartisipasi, MB meminta agar datang dengan “tangan kosong”. Tepatnya, tidak membawa karya. Dalam beberapa pengalaman saya terlibat seperti Jakarta Biennale 2015. Sependek pengalaman dan pengetahuan saya, beberapa pameran memajang beberapa karya yang sudah jadi dan diboyong ke ruang ekshebisi. Bahkan ada yang dipinjam di museum yang sudah mengoleksinya.


Residensi dan kolaborasi seperti ini merupakan agenda yang menjadi cerminan bagaimana proyek berbasis seni yang dicita-citakan oleh MB. Seniman dan MB bekerja bersama meletakkan berbagai bentuk seni agar dinikmati bersama dan, bahkan, menggerakkan semua unsur yang perlu terlibat. Kalau bisa: tanpa jarak.






[1] Wahyu Chandra, “Reklamasi Pulau Lae-Lae dan Gugatan Ruang Hidup Warganya”, https://www.mongabay.co.id/2023/03/10/reklamasi-pulau-lae-lae-dan-gugatan-ruang-hidup-warganya/, diakses pada 3 Januari 2024, 17.00 Wita.

[2] https://www.youtube.com/watch?v=LrSvW0NNa6k, diakses pada 2 Januari 2024, 22.14 Wita.

[3] Ibid.

[4] Wahyu Chandra, “Warga Pulau Lae-Lae Gelar Ritual Songkabala, Tolak Bala Tolak Reklamasi”, https://www.mongabay.co.id/2023/09/29/warga-pulau-lae-lae-gelar-ritual-songkabala-tolak-bala-tolak-reklamasi/, diakses pada 3 Januari 2024, 02.00 Wita.

Komentar

Postingan Populer