Perjalanan 52 Tahun Daeng Mile
Tentang seorang maestro gendang Makassar, pegelut dunia
perkusi Sulawesi Selatan selama 52 tahun.
LELAKI berkumis itu masuk ke kamar. Cahaya
matahari sore yang cerah masuk melalui jendela tak berkaca di dinding barat
ruang tamunya. Terdengar suaranya meminta bantuan kepada seorang cucu perempuannya
untuk mengurusi satu dua hal. Tak berapa lama lelaki berkumis itu keluar
mengenakan baju merah cerah berlengan panjang dengan kerah berhiasan benang
emas, passapu (ikat kepala) coklat dan biru tua menutup rambut ikalnya, dan sarung sutra
bercorak kotak-kotak mantap melekat di pinggangnya. Ia juga menggendong gendang
andalan yang menemaninya sejak 1990 silam.
Abdul Muin Daeng Mile sudah berpakaian lengkap. Ia benar-benar
sosok yang berbeda dibanding lima menit lalu. Badannya lebih tegap dan
memancarkan kharisma. Daeng Mile nama akrab lelaki itu tampak siap menggebuk
gendang dengan sebilah bakbalak (pemukul
dari tanduk kerbau) di tangan kanannya. Daeng Mile berpakaian lengkap bukan lantaran
ada hajatan pada pertengahan 2013 itu. Ia keluarkan gendangnya untuk pengambilan
gambar sampul buku Calling Back theSpirit: Music, Dance, and Cultural Politics in Lowland South Sulawesi karya
Anderson Sutton, yang diterbitkan Ininnawa tahun September 2013.
Daeng Mile adalah maestro ganrang (gendang) Makassar. Daeng Mile, salah seorang maestro
kesenian Sulawesi Selatan—selain H. Daeng Manda dan mendiang Mak Coppong (maestro
tari), serta Daeng Serang Dakko (juga maestro gendang), saudara sepupu Daeng
Mile dari garis ibu. Sematan ‘maestro’ ia peroleh dari Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata pada masa Soesilo Bambang Yudoyono. Gelar itu tampaknya sepadan
dengan pergelutannya sejak 1961 dengan alat musik pukul tradisional suku yang
mendiami semenanjung selatan Pulau Sulawesi itu.
“Itu saya hitung waktu pertama kali tampil depan umum
bersama kelompoknya ayah saya,” kata Daeng Mile, di rumahnya di Desa Se’re
Kalenna, daerah perbatasan Gowa dan Takalar, sekisar 30 kilometer selatan
Makassar.
Daeng Mile kelahiran 1952 berdasarkan kartu
penduduknya. Tapi, demikian ia memperkirakan, sebenarnya ia lahir pada 1949. Hari itu juga
Daeng Mile mengaku rambutnya baru disemir hitam. Begitu juga dengan kumisnya
yang melintang mantap. Bahkan beberapa tahun sebelumnya justru kumisnya yang
duluan beruban dari rambutnya. “Ndak tahu kenapa,” ujarnya, tertawa.
Tahun 1952, Daeng Mile ingat benar kalau ia sudah
punya adik. Tahun-tahun awal 1950-an juga Daeng Mile kenang sebagai masa-masa
ia mengembalakan ternak, tugas yang diberikan keluarganya padanya. Masa pemiaraan
ternak ini dijalaninya sampai menjejakkan kaki ke masa remaja pada akhir
dasawarsa 1950. Rentangan waktu ini pula ia kerap mendengar tabuhan dan pukulan
gendang bila mendiang ayahnya, Calegge’ Daeng Ngalle latihan bersama anggota
kelompok ayahnya di rumahnya.
Melihat dan mendengar tetabuhan itu kemudian mendorong
bocah bernama Abdul Muin itu berlatih sendiri menggeber gendang bila sesi latihan
ayahnya sudah bubar. “Makanya kalau mau belajar (main gendang), mata dan
telinga harus dipasang,” katanya, “itu tangan bisa cari sendiri,” sambungnya,
tertawa.
Pada satu kesempatan di mula dekade 1960, ia
memberanikan mengajukan diri ke ayahnya agar bisa ikut dalam kelompok seni
tersebut. Ayahnya yang tak percaya lalu meminta Abdul Muin memainkan sepenggal
irama gendang. Dan apa yang terjadi? Orang-orang dalam kelompok kesenian
ayahnya terperangah ketika Abdul Muin memainkan irama gendang sebagaimana yang
mereka praktikkan setiap latihan. Dan sejak itu pula, tepatnya tahun 1961,
Abdul Muin pun mulai ikut kelompok tersebut tampil di depan publik. Itu
berarti, Daeng Mile menggeluti gendang selama 52 tahun!
Profesi Calegge’ Daeng Ngalle sama yang Daeng Mile
jalani kini. Bahkan paddaengang
ayahnya masih menempel bersama paddaengannya dalam paspor: “Mile Ngalle”. Ia bersama
lima anaknya juga menjadi sekelompok pemusik dan penari. Si sulung, Muhsin Daeng
Ngerang, menjadi pemain gendang; sementara empat putrinya (Maryam Daeng Bau,
Masrita Daeng Tonji, Mariwati Daeng Caya, Murkayati Daeng Kanang) ikut menari dalam
kelompok Daeng Mile. Saudara sepupu (anak dari saudara ibunya), Daeng Serang
Dakko yang juga diangkat oleh pemerintah sebagai maestro gendang Makassar.
Daeng Mile lebih muda sepuluhan tahun dibanding Daeng
Serang. Rumah mereka berjauhan. Daeng Mile di perbatasan Gowa-Takalar, Daeng
Serang di dalam Kompleks Benteng Somba Opu. Daeng Mile pernah mendapat tawaran
dari Muhlis Paeni, pimpinan proyek revitalisasi kawasan Benteng Somba Opu,
untuk bermukim di kawasan Somba Opu. Tapi ia menampik. Pada akhir 1980-an
hingga awal 1990-an, situs Benteng Somba Opu diperbaiki dan dibanguni sejumlah
tempat. Bahkan tempat itu menjadi Taman Miniatur Sulawesi. Daeng Serang sendiri
hingga kini masih berkesenian di Benteng Somba Opu dan berlatih nyaris setiap
hari dengan anak kandung dan anak didiknya, baik penari maupun orang-orang dari
luar yang belajar padanya.
“Saya memang tidak mau tinggalkan sawah. Kita ini ‘kan
petani. Kalau pindah ke sana, saya kerja di mana selain bermain gendang. Saya
juga pikir waktu itu [sekolah dan pergaulan] anak-anak saya. Jalan ke Benteng
Somba Opu waktu itu harus naik perahu. Jembatan yang sekarang dikerja waktu mau
ada pejabat datang [kunjungan Wakil Presiden Try Soetrisno, pen.],” jelas Daeng Mile, “saya ini
petani bekerja sambilan bermain gendang,” lanjutnya, tegas.
DAENG MILE BARU pulang dari sawah pada pertemuan saya
dengannya di satu hari pada pertengahan 2013. Lahan pertanian padi basah di
Se’re Kalenna, perbatasan Gowa dan Takalar mulai dipanen. Dari jalan poros
Gowa-Takalar tampak petak-petak dan asap pembakaran jerami membumbung seperti
berpadu dengan mendung yang menggayut di atas persawahan Gowa.
Memang bermain gendang ia jadikan sebagai kerja sambilan.
Tapi hasil pergelutannya dengan musik ganrang
Makassar memperkuat pekerjaannya sebagai petani. Imbalan yang diterima Daeng
Mile dipakai membeli lahan pertanian. Daeng Mile memperoleh honor kala bermain gendang
atau mempraktikkan pembuatan gendang di banyak negara, termasuk ke Amerika
Serikat atas jasa baik etnomusikolog, Profesor R. Anderson Sutton, yang
berdasarkan pengakuan Pak Andy, panggilan akrab Anderson, bahwa Daeng Mile
tempat guru besar Universitas Michigan ini berguru gendang Makassar.
Kelompok asuhan ayahnya sama dengan kelompok seninya
sekarang: diperlihara oleh komunitas. Penampilan mereka bergantung pada undangan
untuk hajatan tertentu, mulai acara resmi pemerintah, atau hajatan keluarga
bangsawan maupun orang biasa yang berduit. Grup semacam itu dikelola sebagai
sampingan dari pekerjaan utama para punggawanya yang bertani.
Daeng Mile sebenarnya sempat cenderung vakum
menggeluti gendang pada dekade 1970-an. Kala itu ia menjadi karyawan di
Pelabuhan Biringkassi, Makassar. Selesai di sana pada 1978, ia bersama 7
rekannya sempat berencana melamar di Pabrik Semen Tonasa II—berkat ajakan orang
dalam. “Tapi saya pulang ke Gowa main gendang. Pas teman-teman saya masuk, saya
sudah malas urus lamaran itu. Untung juga saya pulang waktu itu. Istilahnya,
saya lanjutkan karyanya Bapak (Callengge’). Dengan gendang juga saya bisa ‘injak’
negara orang,” kata Daeng Mile, mengisap kreteknya.
Selain pemain, sejak 1982 Daeng Mile juga membuat
gendang sebagai pengisi waktu senggang. Sudah tak terhitung pemesan gendang buatannya
yang bersebaran di banyak daerah di Sulsel. “Gowa dan Takalar gendangnya sama. Untuk
sekarang gendang Gowa yang banyak dipakai. Buatan saya tersebar sampai
Bulukumba dan Sinjai. Kalau buatan saya sampai di Bone, Parepare, Sidenreng
Rappang,” ungkapnya.
Gendang merupakan alat musik utama dan dianggap
bertuah Sulawesi Selatan—karenanya menjadi alat musik yang dipukul oleh
orang-orang penting kala membuka sebuah acara. Dalam praktik-praktik
berkesenian sebagaimana yang saya dengar darinya bahwa benda ini seperti
memiliki roh. Wajar bila beberapa penari atau orang yang sekadar menonton
kerasukan bila mendengar gendang dipukul.
“Iya, sering juga tiba-tiba tarian ditemukan di situ.
Orang-orang kemasukan terus menari tommi
(sekalian)!” terang Daeng Mile, tertawa.[]
Komentar
Posting Komentar