Hal-hal yang 'Mungkin' dari Aparat

Mertua saya mendapat undangan membuat kartu tanda penduduk (KTP) elektronik pada 4 Oktober lalu. Rencananya, pembuatan KTP yang konon mirip kartu ATM dan mengambil sidik jari dan sidik mata itu akan dilaksanakan di kantor tiap kecamatan.

Undangan itu berdasarkan kartu keluarga (KK). KK sendiri menjadi sandaran bagi pemerintah dalam pendataan. Setidaknya, bisa jadi, dengan daftar nama keluarga dalam kartu tersebut bisa mengecilkan kemungkinan terjadinya pengambilan ganda KTP.

Namun sayangnya, undangan yang saya ambil di kantor lurah (yang kebetulan tepat bersampingan dengan rumah yang saya tinggali) masih berdasarkan KK lama mertua saya. Saya tahu benar kalau itu KK versi lama karena nama istri saya masih ada di KK tersebut. Pada 2009 lalu, KK itu yang saya pecah jadi dua, mengeluarkan nama istri saya dan saya memasukkannya ke daftar KK keluarga kami yang baru.

Ketika dua orang petugas kelurahan mencari undangan pembuatan KTP, saya menduga jangan-jangan undangan pembuatan KTP elektronik untuk keluarga kami bisa jadi tidak ada. KK mertua saya kan versi yang lama. Sekisar 15 menit kemudian, dugaan saya benar. Petugas kelurahan sudah mengecek tiga tumpukan undangan namun hasilnya tetap tidak ada.

Keesokan harinya saya mencoba melacaknya di kantor kecamatan. Saya khawatir bila tidak mengurusnya lekas-lekas malah lebih menyulitkan saya nantinya menjelang pembuatan KTP yang rencananya sepekan setelah undangan tersebut sampai ke setiap keluarga.

Sampai di kantor kecamatan, dua petugas saya hadapi di meja piket "Tamu Harap Lapor". Mereka tampak santai setengah jam menjelang pukul dua belas.
"Pak, saya tidak mendapat undangan pembuatan KTP elektronik. Bisa saya meminta surat keterangan?" tanya saya.
"Oh, mungkin sudah didrop (dibagi) ke RW," tanggap pria berbadan besar. Si kurus yang ada di sampingnya turut menjelaskan. Memberi jawaban yang serupa.
"Saya sudah ke kelurahan. Hanya mertua saya yang dapat. Itu pun berdasarkan versi KK lama. Padahal saya sudah pecah 2009 lalu."
"Tidak bisa diurus di sini, Pak. Mesti di Kantor Catatan Sipil."
"Lho, saya ambil KK-nya di sini, Pak." Suara saya mulai meninggi.
"Mungkin KK-nya Bapak belum terdaftar waktu program KTP elektronik," jawabnya.

Saya ngeri benar dengan jawaban si badan besar yang semuanya menggunakan kata 'mungkin'. Ngeri betul dengan banyak program pemerintah yang justru menyusahkan warga. Jawaban yang serba 'mungkin' hanya menyisakan pertanyaan. Lalu, sebaiknya warga seperti saya bertanya di mana agar bisa mendapatkan kepastian? Padahal, sejatinya, kelurahan dan kecamatanlah titik pelayanan terdekat yang mudah dijangkau warga.


Sepulang dari kantor sekisar pukul 12 itu, saya hanya berdoa, semoga teman dan sahabat saya yang PNS tidak melayani orang lain layaknya orang-orang yang memberi timpalan pertanyaan saya tadi. Mereka benar-benar menyelesaikan hal kecil sampai soal-soal besar. Yang terpenting, ya Tuhan, mereka tidak memberi jawaban yang 'mungkin-mungkin' saja.

Komentar

Postingan Populer