Sekali Lagi, Huruf ‘q’ dalam Pelatinan Bahasa Bugis


Penggunaan huruf ‘q’ dalam transliterasi dan transkripsi teks-teks lontara’ Bahasa Bugis bertujuan memudahkan pencarian menggunakan mesin digital. Ini berhubungan kuat dengan zaman komputer. Dalam konvensi digital, lambang apostrof tidak dihitung sebagai huruf, berarti tidak menjadi bagian dari kata. Contoh tentang ini bisa dilihat pada nama Patoto'e dijadikan dua kata: Patoto dan e.

Keputusan menggunakan huruf ‘q’ mengutamakan alasan kepraktisan, utamanya di dunia akademis. Ketika transliterasi (alih aksara) dan transkripsi (penyalinan) menggunakan komputer, apostrof yang bisa disebut ‘koma atas’ [‘], tidak terhitung sebagai aksara. Dengan demikian, menyulitkan pencarian kata dalam beratus bahkan ribuan lembar naskah yang sudah dilatinkan.

Sebagai orang awam, yang sesekali harus berurusan naskah karena bergiat di penerbitan khusus kebudayaan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, inilah alasan yang paling masuk akal terkait pelatinan lontara’. Saya sering mendengar pengguna bahasa Bugis sehari-hari mengeluhkan penulisan kosa kata Bugis dengan mengakhirinya dengan huruf ‘q’. Begitu banyak, terutama teman-teman saya pengguna bahasa Bugis mutakhir, mengatakan ‘aneh dan kita membacanya terbata-bata’.

Selain itu, “Tanda apostrof dalam tulisan bahasa Bugis dengan huruf Latin juga dipakai sebagai tanda petik. Berarti bisa memunculkan ambiguitas dan keanehan. Seperti: 'malebbi'', atau ambiguitas 'Taro a' ménré' ri sao kuta pareppa'é': di mana kutipan berakhir?” tanggap Sirtjo lewat kolom komentar.

Tapi, menurut hemat saya, “Ini bisa diakali dengan menggunakan kutipan dua koma [“].” Meski tanggapan saya ini setahunan kemudian baru dijawab oleh Sirtjo sendiri. 

Sirtjo Koolhof menjawabnya langsung ketika berkesempatan ke Kampung Buku, 21 Mei lalu. Kampung Buku adalah perpustakaan rintisan Penerbit Ininnawa yang kini dipakai sebagai ruang bersama beragam individu dan komunitas. Sirtjo lalu membawakan I Lagaligo II (Lephas, 2000) untuk Kampung Buku. Pada kunjungan pekan sebelumnya lelaki jangkung ini tidak mendapati I Lagaligo II di perpustakaan ini.

Sirtjo, lelaki kelahiran Amsterdam 1957, menjawab tulisan sederhana saya di link ini dengan mengomentari tulisan yang saya rilis juga di weblog Penerbit Ininnawa. Komentar Sirtjo itu kemudian saya siar juga di sini agar bisa lebih meluas penyiaran tanggapan itu. Apalagi, Sirtjo mengaku lebih banyak menggunakan surat elektronik. “Saya pernah bikin akun Facebook tapi kemudian saya tidak pernah buka lagi,” katanya, tertawa.

Sirtjo Koolhof menyelesaikan studinya di Universitas Leiden, Jurusan Bahasa dan Budaya Oseania dan Asia Tenggara. Sempat menjadi Kepala Perpustakaan KITLV di Leiden, lalu menjabat kepala redaksi Indonesia, Radio Netherlands Worldwide, Hilversum. Kini, ia bebas bepergian karena tak bertugas di mana pun.[]

Komentar

  1. Hal menarik yang saya lihat di Riau (tempat saya sekarang). Nama-nama atau nama panggilan orang Bugis yang lasim juga dipakai di Sulawesi Selatan seperti Aco', Besse' Asse' Ambo' atau Upe' ditulis menjadi Acok, Bessek, Assek, Ambok atau Upek. Bahkan sipemilik nama sendiri menulisnya demikian.

    BalasHapus
  2. wah, informasi menarik, bang jalmatrix. terima kasih banyak infonya :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer