Sumpah “Bibir Pecah” Arung Palakka di Buton
Gua tempat Arung Palakka bersembunyi. [foto: Anwar Jimpe Rachman] |
Kolera dan tipus mungkin sudah biasa kita dengar legenda dan kisah keganasannya
bila sudah mewabah. Dalam cerita sejarah, pendiri kota Batavia, Jan Pieterzoon
Coen, disebut-sebut mati pada September 1629 dikarenakan kolera. Sementara dalam
cerita fiksi, wabah tipus dijadikan latar novel Frankenstein. Tapi pernahkah
anda membayangkan kalau sariawan atau bibir pecah-pecah melanda di satu
wilayah?
Mendengarnya sepintas memang terasa lucu. Untungnya juga
malapetaka itu tidak pernah terjadi. Tapi seandainya saja Arung Palakka ketika
lari ke Buton tidak bersembunyi di dalam gua, maka, bisa jadi, seluruh wilayah
Kesultanan Buton ketika itu dilanda “pogoso” atau bibir pecah-pecah. Siapa yang
tahu!
Ini lantaran sumpah yang diucapkan Sultan Buton ketika
serombongan pasukan pencari buronan dari Kerajaan Gowa datang menghadap ke La
Awu Sultan Malik Surullah karena mendengar kabar kalau Raja Bugis itu lari dan
mencari suaka di wilayah kesultanan yang dipimpinnya.
“Saya tidak bohong. Tapi kalau benar Arung Palakka ada di
atas tanah Buton, saya bersumpah seluruh rakyat Buton akan terkena ‘pogoso’? begitulah kira-kira rekaan sumpah yang diucapkan sultan
yang memerintah Buton mulai 1654-1664 kepada rombongan pasukan itu.
Buton memang tidak termakan sumpah. Soalnya Arung Palakka
yang bergelar “Petta Melampee Gemme’na”
(Pangeran yang Berambut Panjang) itu bersembunyi di sebuah gua yang terletak di
dinding tebing timur Benteng Wolio. Bukannya di 'atas' tanah Buton!
Hingga kini, gua persembunyian Arung Palakka itu bisa
terlihat jelas. Jalanan setapak di bibir tebing curam di sekitarnya sudah
disemen untuk memudahkan orang mencapai dan melihat gua yang ada dalam perlindungan
benteng seluas 22,8 hektar dan disebut-sebut sebagai benteng terluas di dunia
itu.
Di Buton, Arung Palakka dikenal dengan nama Latoondu. Bisa
jadi ini adalah nama dari pelisanan yang dilakukan “lidah lokal” dari dua kata
“La” (awalan untuk nama laki-laki di masyarakat Buton) dan “Tounru” (Sang
Penakluk, salah satu gelar Arung Palakka). Karenanya, gua persembunyian
bangsawan Bone itu dinamai Liana Latoondu.
Leonard Y Andaya dalam bukunya Warisan Arung Palakka
menyebut, menurut sumber Belanda (Speelman) dan catatan harian Raja-raja Gowa
dan Tallo, peristiwa ini terjadi sekitar akhir tahun 1660 dan awal 1661,
tatkala Raja Bone-Soppeng itu melarikan diri ke Butung atau Buton, membawa
keluarga, dan para pengikutnya.
Perlindungan yang diberikan Sultan Buton ternyata terus
dikenang dan menjadi dendam tersendiri bagi Gowa. Pada 1666, Sultan Hasanuddin
mengirim armada berkekuatan 20.000 personil untuk menghantam Buton karena
alasan itu.
Jejak lainnya yang berkaitan dengan cerita pelarian Arung
Palakka juga terlihat jelas dari Benteng Wolio yang mengelilingi Keraton
Kesultanan Buton. Bila kita melepas pandang ke Teluk Baubau, terdapat pulau
kecil yang diapit Pulau Buton dan Pulau Muna. Nama pulau itu adalah Pulau
Makassar, yang letaknya hanya sekitar 10 menit menggunakan perahu bermesin dari
Baubau.
Ada beberapa versi untuk menjelaskan perihal penamaan
“Makassar” untuk pulau berbentuk lingkaran tersebut. Pertama, karena di sanalah
tempat para hulubalang dan pendamping Arung Palakka diberi tempat bermukim oleh
Sultan Buton karena enggan lagi kembali ke tanah Bugis.
Versi lainnya mengatakan, pulau seluas 104 kilometer persegi
itu diberi nama serupa ibukota Sulawesi Selatan itu karena di sanalah para
pasukan Sultan Hasanuddin diberi wilayah permukiman. Sepasukan prajurit itu
enggan pulang ke Gowa lantaran gagal menemukan buronan nomor satu Gowa, Arung
Palakka. Apalagi jika mereka gagal, berarti hukuman menanti dari raja.
Sementara klaim lain menyebut, pulau itu dulunya bernama
Liwuto; yang dalam bahasa Buton juga berarti pulau. Pulau nelayan itu dulunya
adalah tempat menawan 5.500 pasukan Bontomarannu yang ditangkap oleh pasukan
Kompeni-Arung Palakka yang didatangkan dari Batavia ketika Gowa menyerang Buton
pada 1666.
Sumpah “pogoso” sendiri, setidaknya hingga tahun 1990-an,
masih dipakai oleh kanak-kanak setempat bilamana mereka hendak menguji bohong
atau tidaknya kawan sepermainannya.[]
(Saya menyusun tulisan ini pada 2006-2007, buah tangan perjalanan ke Buton dan tersiar pertama kali di website Panyingkul).
Benar Sekali, Cocok Dengan Cerita Orang Tua Ku, Sumpah Sultan Buton Yang Mengatakan Arung Palakka Tidak Ada Diatas Tanah Buton, Tetapi Ada Diatas tanah Buton
BalasHapusBung Syolahuddin di Buton tinggal? Apa kabar? Rindu juga mau ke sana lagi :)
HapusYg benar yg mna tidak ada atau ada
HapusYang benar adalah berada dibawah tanah Buton, bukan diatas tanah Buton
HapusArung Pallaka :sosok kelam bagi Nusantara ,berperang bukan hanya dgn kerajaan Gowa-Tallo,tapi Mingkabau Dan Tronojoyo untuk kepentingan VOC
BalasHapustidak begitu juga "sappo"jika diliat dari tujuan utamanya yaitu kemerdekaan rakyat yang dipinpinnya (siri,na pacce)
HapusBetul itu cappo liatki sejarahx dulu arung palakka sebelum diklaim....degaga jago
HapusKemerdekaan itu bukan mengalah, tp bertarung melawan penjajah.. Itu pula yg dinamakan siri.. Jgn sampai penjajah berkuasa..
HapusKerja sama dengan voc itu ada alasannya bos , karena ingin memerdekakan rakyatnya
BalasHapussaya orang buton, bagi kami arung palaka adalah seorang pahlawan yang berjuang demi rakyatnya,, sebagai bentuk penghargaan kami terhadap arung palaka, di kawasan benteng keraton buton terpampang jelas nama arung palaka sebagai salah satu museum sejarah..
BalasHapus-salam persaudaraan_
Saat itu belum ada Nusantara semua kerajaan berjuang untuk kedaulatan negerinya.... Bebas bekerjasama dengan siapapun demi kepentingan negernya....
BalasHapus