Generasi yang Bermain dan Melawan Jenuh

Melawan dalam sejarah adalah upaya ‘melawan lupa’. Namun menggeluti dunia rupa Makassar, agaknya perupa kota ini perlu satu siasat: melawan jenuh.
Karya Superhero Copy Paste (kiri). [Foto: Anwar Jimpe Rachman] 
SEORANG bayi berkepala tertutup kantong plastik hingga batang hidungnya. Dengan popok hijau terang melekat di bokongnya, ia berdiri dengan kuda-kuda kokoh menghunus pedang. Gagang pedang itu terbuat dari flashdisc, benda pengganda berkas. Lukisan ini berjudul: Superhero Copy Paste.


Lukisan ini seperti ingin mengolok perkembangan yang terasa ironis. Hal-hal yang dicomot dan diambil tanpa izin pun bisa membuat seseorang menjadi pahlawan tanpa cela. Itu juga bisa menjadi pengingat tentang zaman kita hidup sekarang. Beragam informasi dengan cepat, bahkan cenderung terburu-buru, tidak lagi memberi kita ruang dan proses pemeraman agar menjadi hal yang lebih bermakna.

Lukisan ini karya Agustan, perupa lulusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar. Lelaki kelahiran 3 Maret 1986 ini berpameran “Recharge” di Rumata’artspace, 26 April-13 Mei lalu, bersama Anggraini Herman, Andi Baso Kurniawan, Baso Indra Wijaya, Faisal Syam, Irsan Djafar, Muchlis Lugis, dan Ridwan Sakke.

Kedelapan perupa ini berumur di bawah 30 tahun. Usia muda, sebagaimana ‘bayi’ penghunus pedang dalam karya Agustan, adalah energi yang hendak ditampilkan dalam Recharge. Menurut kurator, Nur Abi Abdiansyah, tajuk Recharge dipilih didasari pandangan: seni rupa Makassar sedang lowbat, butuh diisi kembali. ReCharge berarti mengisi ulang baterai, istilah yang tak asing bagi masyarakat masa kini yang berkaitan dengan penggunaan telepon seluler.
Karya kedelapan perupa ini tidak terbatas matra konvensional seperti kanvas. Karya lukis Anggraini menggunakan alat dapur sebagai media [“Will Be” dan “Night”], Baso menampilkan beberapa karya video, Irsan membawa karya foto lubang jarum, dan Ridwan Sakke menunjukkan sejumlah komiknya.

Agustan, Andi Akbar, Faisal, dan Muchlis masih bekerja di atas kanvas. Namun perlu menjadi catatan kita bersama bahwa Muchlis [dalam dalam karya “Light Fingered” dan “Limitation”] dan Faisal [dalam “Pa’suling” dan “Saka Hala Die”] menggunakan metode cukil kayu, sedang Agustan [dalam “Generasi Copy Paste” dan “Superhero Copy Paste”] dan Andi Akbar [dalam “Entitas Kebangsaaan”] membawa tema baru.

“Ini kecenderungan yang bagus karena mereka meninggalkan karya-karya perupa Makassar sebelumnya yang lebih banyak menggambar dan melukis still life (pemandangan dan sejenisnya),” jelas Abi.
Karya komik yang dipamerkan. [Foto: Anwar Jimpe Rachman]
Pola ungkap ‘tradisional’ seniman Makassar tampak meninggalkan artefaknya dalam karya Faisal berjudul “Pa’suling”. Faisal mendayagunakan seni cukil kayu dalam menuangkan gagasan ke kanvas—sesuatu yang benar-benar melepaskan diri pola seniman Makassar sebelumnya. Lukisan dekoratif itu mencitrakan seorang pemain suling dengan nada-nada yang dirupakan bagai bunga dan kelindanan tali. 

Demikian pula dengan karya surealis Muchlis. Ia berpeluang besar menarik perhatian kita karena seperti memasuki seni lukis baru Makassar. Selain menggunakan cukil kayu, dua karyanya itu menggiring kita ke lukisan trimatra [tiga dimensi], cara dan jenis karya yang masih jarang kita temui dalam pameran yang memang sudah langka di Makassar.

Dalam satu dasawarsa, berdasarkan catatan Abi, tidak banyak kegiatan seni rupa yang monumental di Makassar atau setidaknya melibatkan perupa kota ini. Beberapa yang sempat tercatat antara lain: pameran 45 perupa Sulawesi Selatan di Bentara Budaya Jakarta, berbagai aktivitas Makassar Art Gallery yang digawangi Mike Turusy, dan beberapa kegiatan perupa Firman Djamil.

PAMERAN Recharge tentu menggembirakan kita. Parade karya ini hendak menunjukkan pada kita perkembangan teknik seni rupa di Makassar sedang mengendap keluar dari relung kutukan kemandekan. Bahkan beredar sebuah anekdot: untuk berkarya bagus, para perupa tampaknya harus menjelajah ke luar Makassar—baik dalam arti ‘geografis’ maupun ‘dialog dan persentuhan gagasan’. Anekdot ini agaknya benar. Betapa karya-karya yang menonjol dalam Recharge dibuat oleh perupa yang tengah atau telah menempuh pendidikan lanjutan seni rupa di luar Makassar. 

Kendati delapan perupa ini bukan representasi utuh perupa Makassar mutakhir, setidaknya kita bisa merasai pula energi yang sedang menular dalam eksebisi ini. Mereka sedang melawan jenuh, mendobrak zaman ‘matangnya’ kemandekan itu. Mereka generasi perupa yang lebih menyukai ‘bermain’. 

“Menghilangkan kesan bahwa fotografi [baca: seni] tidak selamanya mahal. Kamera digital berkembang tidak terbatas. Sehingga lubang jarum lebih seperti bermain, gagal 20 kali itu hal biasa,” kata Irsan.

Bukan hanya daya ungkap dan cara berkarya yang ‘terbatas’ menjadi musuh seni rupa Makassar. Rupanya, berdasarkan penelusuran Abi, pameran karya seni rupa di Kota Daeng jarang berlangsung. Ini ditambah dengan penulisan seni rupa yang minim. “Itu pun hanya beberapa saja yang terlacak, terutama lewat internet,” ungkap Abi.

Apa yang membuat seni rupa Makassar sedemikian mandek? Dalam esainya berjudul “Seni Rupa di Makassar: Labirin Masalah” yang ditulis pada 2007 lalu, Halim HD menegarai beberapa sebab: [1] jejak cara pandang terpusat di Jawa dan Bali; [2] terlalu banyak bicara tentang khasanah lokal tanpa konteks yang jelas dan tanpa pemahaman sejarah lokal yang mendalam—yang menghasilkan sejumlah ‘realisme’ yang dangkal dan mengedepankan eksotisme Bugis-Makassar-Toraja; [3] kecilnya upaya pewacanaan—dalam bahasa Halim “perupa hanya menunggu: adakah jurnalis yang akan menulis, dan pengamat yang bersedia untuk mengulas?” [4] minim ruang berbagi dan kemungkinan pembaruan pengetahuan, dengan membandingkan penjualan majalah Visual Art di Makassar yang belasan eksemplar saja dengan Solo yang mencapai 40-an eksemplar; dan [5] sistem pendidikan seni rupa yang “bukanlah untuk mendidik seseorang menjadi perupa; mereka dididik untuk menjadi guru.”

“Banyak yang mendaftar di jurusan seni rupa di UNM hanya karena jatah penerimaan pegawai negeri sipil untuk seni rupa sering kosong. Maka berlomba-lombalah mereka masuk ke sana untuk mengejar jatah PNS,” kata beberapa alumni UNM yang saya sempat ajak berbincang di sela pameran.

Pandangan tentang Islam yang ajeg mengambil peran dalam ‘labirin’ ini. Menurut Andi Akbar, jurusan Seni Rupa Universitas Muhammadiyah pernah mendapat komplain agar tidak meneruskan mata kuliah Seni Patung karena dianggap melanggar larangan Islam menyerupakan ciptaan Tuhan. “Bahkan ada yang bilang, menggambar pun tidak dibolehkan,” terang Andi Faisal.

MUNGKIN masa ini masa yang pahit. Tapi pasti juga harus ditinggalkan. Sudah tiba waktu pelaku seni rupa lebih rajin bermain demi melawan jenuh. Dunia seni rupa Makassar yang mandek membutuhkan proses dan percobaan-percobaan yang lebih berani, meninggalkan eksotisme kesukuan yang dangkal. Memang butuh waktu untuk membuktikan apakah generasi ini bertahan. Tapi pameran ini menjadi mula yang baik. 

Mereka kini perlu menciptakan ‘tempat bermain’ lebih banyak, yakni ‘galeri’. Tinggal menunggu interpretasi generasi perupa ini tentang ‘galeri’, apakah: “benda berongga dan tertutup” atau “ruang mental yang terkuak tanpa batas”.[]

Catatan: Versi panjang dari "Melawan Jenuh", Koran Tempo Makassar, 5 Juni 2013.

Komentar

Postingan Populer