Setelah Listrik Mati di Pameran Sore Itu

AIR MATA Nurasiah sore itu jatuh. Menjelang pembukaan pamerannya, listrik Auditorium Al Amin Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar padam. Usahanya setahun terakhir terancam musnah.

Karya Icha, panggilan sehari-hari Nurasiah, bersama karya empat kawannya sudah dipajang di gelanggang pameran bertajuk “Dua Sisi” di bilik belakang podium, yang segera dibuka untuk umum selama tiga hari, 26-28 Mei 2016. Arena itu sederhana saja: berdinding kain hitam dan putih. Tapi acara ini teramat penting bagi mereka, puncak perjuangan yang harus mereka tempuh masing-masing selama setahun.

Seorang dosen datang menghibur. Kata si dosen, bukan listriknya sekarang yang perlu ia tangisi, tapi “Lihat karya-karyamu sudah dipajang!”

Icha tersenyum. Tapi sebenarnya ia gelisah. Bagi mahasiswa seperti Icha, pameran memiliki derajat yang lebih tinggi ketimbang skripsi.

“Pameran sangat susah, Kak. Waktu berprosesnya panjang,” jelas Enal panitia pameran. 

“Beda skripsi; bisa selesai cuma tiga bulanan,” tambah panitia lainnya, Ridwan, beberapa saat menjelang pembukaan.

“Susah, Kak, karena kami kerja sendiri-sendiri. Beda kalau tugas kuliah yang lain; biasanya kami baku bantu-bantu,” kata Icha.

“Mereka berproses panjang selama persiapan pameran. Mereka konsultasi ke dosen pembimbing dan mulai berproses panjang. Di situ, saya kira, mereka merasakan bagaimana benar-benar bekerja sendiri,” jelas Ketua Jurusan Pendidikan Seni Rupa Unismuh, Andi Baetal Mukaddas.

Tapi pikiran Icha masih tersambung ke persoalan listrik. Ruang pamer di belakang podium juga memang jadi remang. Apalagi jadwal pembukaan 15:30 molor satu jam, tatkala matahari berjalan ke barat dan sinarnya meredup. Rangkaian acara pembukaan seperti Tari Pa’duppa, tari penyambutan, gelagatnya diurungkan karena musiknya mengandalkan pemutar yang dicolok ke listrik. Lima penari perempuan yang sudah latihan, dan hari itu sudah berdandan lengkap pakaian adat Sulawesi Selatan, malah sudah mau menanggalkan busana tradisional yang sudah mereka kenakan.

Pemandu acara sudah cuap-cuap. Ia ucapkan salam dan menyilakan seorang qari membacakan ayat-ayat Al-Qur’an. Listrik belum juga menyala. Untung pengunjung diam. Ruang auditorium, dengan pintu terbuka hanya di depan, bisa membuat suara si qori terdengar jelas. Cukup syahdu juga mendengar larik-larik ayat itu. (Andai setiap masjid membacakan Al-Qur’an minim pelantang, mungkin saja bisa terdengar lebih indah ketimbang mereka saling menabrakkan suara di atas permukiman. Tidak bising sekaligus menghormati umat lainnya).

Lampu menyala beberapa saat sebelum tugas si qari selesai. Pemandu acara masuk dengan mic di tangan. Pukul 17.00 Wita, ruang pamer di belakang podium sudah terang memasuki pukul lima sore. Saya membayangkan, Icha dan rekan-rekannya tersenyum kembali.

ICHA mengaku, mereka berlima masing-masing menghabiskan dana sekisar empat setengah juta rupiah untuk sampai berpameran. Biaya itu untuk belanja keperluan karya, dari bahan baku, proses berkarya bingkai, dan ongkos lain yang harus mereka tanggung seperti pembuatan baju kaos, perlengkapan publikasi, konsumsi tamu pembukaan, perlengkapan pameran, sampai seragam peserta pameran. Saya kemudian menjadi maklumi semua itu, ketika menanyakan maksud dari tulisan “Pameran Tojeng Mi Tawwa” di bawah tulisan “Dua Sisi” di baju kaos oblong panitia. Ini juga pertimbangan mengapa mahasiswa biasanya pameran berkelompok.
Poster pameran "Dua Sisi".
Pameran “Dua Sisi” menampilkan karya lima mahasiswa Seni Rupa Unismuh (silakan buka pengantar kuratorialnya). Icha mengusung karya kriya. Piringan dan gulungan kecil dari kertas beraneka warna yang ia gulung menggunakan lidi kemudian membentuk parade warna atau bentuk. Ia kerjakan Menjalar, Kunci G, Sun Flower, Butterfly, Bunga Senja, Gelembung, Shadow Hijab, Tahta, Shadow Smoking, dan Mekar dengan menghabiskan kertas A0 sekisar 300 lembar. Oleh perempuan kelahiran Gowa 10 September 1993 ini, karya-karya itu dibingkai dalam berukuran rata-rata 80 cm x 80 cm.

Hamrianti atau Anti membuat deretan karya ilustrasi memunculkan tanda dan benda budaya mutakhir (make up, kacamata hitam, tas, kunci mobil, minuman bermerek, jam tangan, kartu kredit, kamera, gincu, celana ketat). Hal tersebut menampak dalam karya Sense of Beauty, Wanita Glamour, The Trend Now, Skinny Jeans, Shopping, dan My World. Sang kreator dengan bahan kertas dupleks dan cat poster dan menempatkan karyanya dalam dimensi 60 cm x 40 cm itu sebagai representasi bagaimana kalangan muda menandai zamannya. Jarak antara seniman dan karyanya benar-benar intim karena itulah yang ditemuinya (nyaris) tiap hari. Bahkan ia menuliskan dalam catatannya, “remaja selalu up to date”!

Kerja-kerja kecil juga muncul dalam karya ilustrasi Isningsih (Neneng) yang bernuansa poster. Mahasiswa kelahiran 30 Oktober 1992 ini mengerjakan sejumlah gambar di atas kertas dupleks menggunakan cat poster. Karyanya bernuansa seruan sekaligus pernyaan sikapnya terkait pendidikan, seks bebas, korupsi, perihal media sosial, obat-obatan terlarang, sampai isu begal. Ia akui bahwa ketika mengerjakan Mengejar Impian, Tak Mengenal Larangan, Jeratan Pimpinan, Smartphone Mengalihkan Duniaku, Penghancuran, dan Jam Malam, berupaya keras meneliti fenomena-fenomena itu melalui serangkaian wawancara.

Di dalam kriya tanah liatnya, Fitriani Masdar menunjukkan kerja-kerjanya dengan mencampurnya dengan cat propan, dempul, serta lem. Perempuan kelahiran 30 Mei 1993 ini menampilkan semangat dua sisi melalui nuansa dua warna yang mendominasi karya-karyanya seperti Guci, Logo Universitas Muhammadiyah Makassar, Tekstur, Lampu Hias, Dekoratif, Flower, Kaligrafi, Sepatu Tali, Sepatu Balet, Burung.

Dua sisi kita dapati dalam karya ilustrasi pensil warna Nasaruddin yang bertema “Hitam Putih Potret Kehidupan Fauna” terdiri dari karya Sabung Ayam, Tatapan Sinis, Penyayang, Berburu Lalat, Sosialisasi, dan Perkelahian Antar Semut. Karya Nasar, panggilan sehari-harinya, mencoba melihat dari dua sisi bahwa dalam Sabung Ayam, “Tanpa kita sadari penderitaan yang dialami ayam aduan tersebut”.

PAMERAN “Dua Sisi” adalah satu dari tiga pameran mahasiswa Unismuh yang saya kuratori sejak awal sampai pertengahan tahun 2016. Proses yang berlangsung biasanya para mahasiswa ke tempat saya sehari-hari, Kampung Buku. Dari situ, kami kemudian bertemu minimal dua kali untuk menggodok bagaimana rupa pameran yang mereka harapkan.

Hanya memang kali ini, harus saya akui, pameran Icha dan kawan-kawan memiliki proses panjang. Dua pameran sebelumnya, “Imaji Tanpa Batas” dan “Portal”, saya merasa hanya seperti ‘ditodong’. Waktu mepet. Pertemuan tidak intens. Mereka datang sudah melengkapi diri dengan konsep dan judul pameran. Gambar karya yang mereka sodorkan pakai kamera hape. Wajar kalau resolusinya kecil dan terkesan asal-asalan. Itu bisa membuat saya bisa “tergelincir” dan “salah mata”. Saya ingat persis, salah seorang di antaranya bahkan pernah menyodorkan gambar-gambar karyanya berlayar kain hijau, warna tirai di kamar kos salah seorang peserta pameran. Saya minta mereka memotret karyanya di luar kamar. Tapi, ya jadinya sekadarnya saja. Mengingat waktu mepet, saya dan mereka pun tak bisa berbuat apa. Kami serba salah.

Saya hanya bisa menuangkan ke dalam dua catatan tentang dua pameran itu, antara lain: (1) Penting bagi mereka melihat kemungkinan yang lebih luas dan tanpa batas dalam mencari atau meneliti pola dan metode kerja sampai bahan karya dari beragam sumber referensi, seperti media online, media cetak, sampai keberanian melakukan curah-gagas dengan banyak kalangan. Rasanya hanya dengan jalan ini mereka bisa melampaui batas-batas gagasan yang mereka miliki selama ini [Imaji Tanpa Batas]; (2) “portal” tak ubahnya sebagai pintu yang mereka masuki berulang-ulang demi mematangkan ragam isu yang masing-masing mereka angkat. Satu hal penting sebagai pengingat mereka: kematangan adalah sesuatu yang hanya bisa dicapai dengan usaha yang juga berulang-ulang [Portal].

Lain dengan Icha dan kawan-kawan. Waktu mereka lowong. Antara waktu kedatangan dan tanggal berpameran sekisar 30-an hari. Kami sampai bertemu empat kali. Waktu memikirkan konsep pameran mereka jelas lebih lapang juga. Nilai plus lain adalah proses berkarya pameran “Dua Sisi” tidak cuma mencomot inspirasi dari sumber dunia maya. Mereka juga mencari informasi di dunia nyata, sesuatu yang patut diasah agar mereka kelak menjadi seniman-yang-memijak-bumi. Berpedoman pengalaman berproses dua pameran sebelumnya, saya meminta mereka mengganti latar foto mereka menjadi putih. Dengan warna itu, saya pikir, bentuk dan warna karya mereka bisa jelas karena cahaya yang memadai agar detail-detailnya terlihat. Syukurlah, mereka penuhi.

Upaya-upaya seperti yang dilakukan—sekadar contoh—Neneng dan Anti adalah sesuatu yang pantas dihargai. Neneng berusaha keras menggali informasi dari orang lain sebagai isu-isu dalam karyanya. Sedang Anti, elemen pengalaman personalnya dituangkan dalam karya, terutama tentang kartu kredit. “Saya dapat kartu kredit dari kakak saya yang bekerja di bank. Susah sekali menahan godaan untuk menggeseknya, Kak, apalagi pas lagi tidak pegang uang cash,” jelas Anti tertawa, dalam sesi obrolan awal kami.

Dosen pengampu mata kuliah pameran, Maisar Ashari, mengatakan, proses ini memang sengaja berjalan, pelan-pelan tapi pasti dan penuh perhitungan. Di pameran yang ketiga ini, ia mulai memberi waktu mahasiswa menggodoknya bersama kurator. Sungguh senang saya mendengar penjelasan Maisar.

Selain itu, sangat menyenangkan sekaligus sebuah kehormatan bagi saya menerima tawaran kerja bersama macam begini. Saya melihat ada tiga hal penting berkaitan ini.

Pertama, kesempatan dan peluang saya belajar dengan kalangan perguruan tinggi. Kedua, menyambut upaya pihak perguruan tinggi berdialog dengan orang awam (non-kampus) seperti saya. Sejak lama, kalangan akademisi dianggap tak sudi berbaur dengan publik di luar kampus. Mereka dianggap “asyik dengan diri sendiri” (Mahfud MD, “Menggugat Perguruan Tinggi”, Koran Sindo edisi 12 Maret 2016). Dalam beberapa bincangan dengan teman-teman dari berbagai kota di negeri ini, mereka rata-rata menyebut bahwa reproduksi pengetahuan kini lebih banyak bisa kita dapatkan melalui dunia non-kampus (seperti komunitas-komunitas) ketimbang perguruan tinggi. Mereka menganggap, kalangan rektorat kini lebih memilih berkutat pada soal-soal administrasi. Ketiga, pola belajar mahasiswa yang serba-cepat (instan), tak terkecuali mahasiswa jurusan seni rupa yang saya sempat temani berdialog dalam tiga pameran terakhir. Padahal, kerja-kerja rinci (di antaranya meneliti dan membaca) adalah hal yang patut menjadi landasan mereka mencipta dan mengerjakan karya. Kita berharap alumni-alumni Jurusan Pendidikan Seni Rupa Unismuh adalah seniman atau pengajar yang sadar keadaan sekitarnya dan menjadikan itu semua sebagai muatan utama dalam mengekspresikan karyanya. Intinya, mengasah sensivitas seniman sebagai juru bicara warga sekitarnya.

PUKUL enam. Magrib tiba. Azan di masjid berkumandang. Pengunjung sudah kosong. Di dalam auditorium, hanya saya dan tiga orang teman (Aden, Iqbal, dan Wiwi) yang masih asyik mengobrol dengan Maisar sampai sekisar sejam kemudian. Lewat bingkai gerbang gedung, saya melihat kendaraan yang berdesakan di jalan poros Makassar-Gowa, tepat depan Unismuh.

Sengaja saya menunda pulang lantaran mempertimbangkan lalu lintas di kawasan Unismuh dan sekitarnya pada jam segitu sudah padat. Ya sekalian berencana mampir di La Koffie, kedai kopi milik teman yang tak jauh dari Unismuh, untuk merayakan selesainya tugas saya barusan.

Tiba di kedai, kami kompak memesan kopi susu. Rasanya saya belum sempat menyeruput, seseorang menyapa orang-orang di kedai, “Siapa di sini yang orang Unismuh?” Nadanya seperti orang panik.

“Ada apa?” tanya saya.

“Unismuh kebakaran!”

Saya keluar. Tampak asap membumbung, berlatar Rektorat Unismuh. Ada yang bilang, mobil meledak. Sedang informasi dari Wiwi, yang menghubungi rekan jurnalisnya, rupanya dua fakultas baru saja bentrok. Akibatnya, menurut penjelasan resmi Unismuh via Facebook, api menghajar “sekret dan taman baca”.

Kabar itu sampai ke Icha dan Anti. Mereka sedang pulang mandi dan ganti baju di kamar kos Icha, sekisaran Unismuh. Rencananya mereka segera kembali ke ruang pameran.

Besoknya, menurut Icha, kampus ditutup sampai 28 Mei. Yang lain mungkin boleh senang karena libur, tapi Icha dkk jelas sedih. Dua jam lalu ia baru lepas dari soal listrik, kali ini datang urusan lebih berat: kampus tutup. Itu berarti pameran mereka bakal berlalu begitu saja.

Icha teringat lagi proses mulai setahun lalu. Ia tidak diam. Ia datang ke kampus dan langsung ke pos satpam. Ia meminta petugas tetap membolehkan masuk khusus pengunjung pameran. Awalnya satpam berkeras. Tapi ketika Ketua Jurusan menghadap, permintaan itu dikabulkan. Mereka tetap berpameran sampai besoknya. Sembilan puluhan orang datang menyaksikan karya mereka. Hari ketiga pukul dua siang, mereka mulai mengemas dan bersih-bersih.
Peserta pameran berfoto bersama Ketua Jurusan, dosen pengampu, dan kurator.
SUNGGUH beruntung Icha dkk belajar dan berproses seleluasa itu. Tanggapan atas pameran mereka menggembirakan. Pengunjung hari pembukaan 300-an orang mungkin seperti membayar lelah mereka. Dosen-dosen juga melayangkan pujian terbuka untuk konsep pameran “Dua Sisi” yang disebut cukup memuaskan. Beberapa panitia juga mengatakan bahwa ini mengubah konsep warna pameran yang sudah-sudah.

Bagi saya, waktu berperan besar dalam persiapan pameran akhir kelompok mahasiswa kali ini. Kesempatan yang lowong telah memungkinkan percobaan-percobaan yang kami lakukan bersama.
Tiga hari setelah pameran ditutup, tatkala saya nyaris merampungkan catatan ini, Icha mengirimi saya pesan “panitia (pameran) akan adakan syukuran hari Rabu (tepat seminggu setelah pameran dibuka)”. Sialnya, saya di luar kota. Untungnya, pesan itu mengingat saya lagi tentang siapa “yang menangis kala berusaha, itulah yang tersenyum akhirnya”.[]

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Luar biasa,membaca postingan ini, seketika saya kembali di bawa kedalam susana penuh haru hari itu, yah, saya memang bukanlah salah satu dari kelima peserta yang berpameran hari itu, akan tetapi saya hanyalah salah satu dari rekan mereka yang diberi mandat untuk mebawakan acara (mc) dalam pemeran mereka. Saya pun ikut larut dalam kegelisahan akibat listrik yang padam hari itu,bagaimana saya bisa membawakan acara ini tanpa pembantu suara, apakah suara saya akan sampai, banyak sekali kekhawatiran yg menghampiri, dan seketika saya dihampiri oleh salah seorang peserta pameran untuk segerah membuka acara sekalipun dalam keadaan listrik masih padam. Sedih, gelisah,takut,kecewa dan marah kecewa menjadi tamu emosi jiwa hari itu, namun dari semuanya itu tuhan masih sisaka ruang untuk kita tersenyum.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer