Senja Kala Bissu

Ketika Puang Matoa Saidi meninggal dunia pada pertengahan tahun 2011 lalu, nasib para bissu, komunitas pendeta wadam sisa peradaban Bugis kuno, tampak mengalami guncangan. Meski kemudian Puang Upe disebut sebagai pengganti pemimpin komunitas bissu di Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan, yang juga tak lama kemudian berpulang, bissu kian terang menuju ke kurun senjakala.
TIba Sebelum Berangkat (foto: Anwar Jimpe Rachman)
Setelah karya H.J. Fredericy, Sang Jenderal (1991), agaknya hanya novel Tiba Sebelum Berangkat karya Faisal Oddang (KPG, 2018) yang membahas kehidupan bissu. Kedua karya ini terpisah nyaris tiga puluh tahun. Sang Jenderal menceritakan tentang bissu sebagai bagian kehidupan kerajaan, masa ketika Fredericy bertugas sebagai ambtenaar yang bertugas di jazirah selatan Sulawesi pada paruh pertama abad ke-20; sedang dalam TSB, hayat bissu menjadi narasi utama.

TSB membentangkan kisah bissu yang lebih mutakhir. Narasinya bermula dari awal dekade 1950 sampai sekarang ketika Anda membacanya. Latar novel ini menceritakan konflik TNI – DI/TII pada pertengahan abad ke-20, yang merupakan salah satu latar utama di Sulawesi Selatan. Di dalam hikayat ini, kita bisa merasakan bagaimana masyarakat mengalami keterbelahan dalam kisruh ini.

Tokoh utama TSB, Mapata diletakkan dalam latar sebagai anggota komunitas bissu, toboto (pendamping) Puang Matoa Rusmi. Cerita novel ini seperti menegaskan sederet tantangan yang dihadapi bissu selama ini.

Sejak dulu, bissu mengalami gerusan, setidaknya, begitu terbit fajar abad ke-20 hingga sekarang. Ketika kerajaan memudar dan hilang tatkala sistem negara diperkenalkan, perlindungan dan penguatan bissu secara kharisma maupun segi ekonomi turut meredup. Itu ditambah semangat gerakan DI/TII yang ingin ‘memurnikan’ agama—bahkan terjadi hingga sekarang oleh kelompok-kelompok agama; hingga perubahan pandangan masyarakat terkait nilai tradisional yang berlangsung sampai sekarang. Belum lagi politik antar aktor di dalam komunitas.

Kisah Mapata dalam cerita 213 halaman ini berjalinan dengan pengkhianatan, air mata, penyiksaan, dendam, kematian, amarah dan cerita cinta yang muram. Mapata dikisahkan berada di ruang penyekapan oleh kelompok yang dipimpin oleh Ali Baba, “pria bergamis hitam, gemuk, jangkung, berkumis, berjanggut, dan cambangnya membentuk setengah lingkaran di wajah”-nya (hal. 5). Mapata menunggu anggota tubuhnya ditanggalkan satu per satu sebelum dijual oleh kelompok penyekap tersebut.

Lapis dan Keterbelahan
Mapata adalah tokoh yang dibungkam berlapis. Ia nyaris tanpa perlawanan. Mapata diculik, disekap, di lokasi tersembunyi, dan dengan lidah yang dipotong. Ia hanya bisa bercakap dengan menulis (hal. 14). Cara ia berbincang dengan para penahannya di sekujur novel hanya menggunakan kertas dan tulisan, kecuali (tentu saja) obrolan Mapata pada masa-masa sebelum disekap.

Metode Faisal Oddang ‘menyiksa’ Mapata rupanya banyak gunanya. Hasil pembacaan awal saya: lidah Mapata dipotong yang pada sebelum akhir cerita tampak seperti hanya sebagai siasat penulis untuk menyampaikan runutan latar novel dalam catatan akademis tentang sejarah Sulawesi Selatan dan bissu. Namun pada seperempat cerita akhirnya justru ‘potong lidah’ itu sangat masuk akal (biarlah pembaca memburunya atas apa yang saya maksud). 

Tokoh Mapata dalam cerita ini mengalami keterbelahan diri: antara jiwa perempuan dan identitas laki-laki. Namun kisah kanak-kanak Mapata agaknya meminta empati kita sebagai penyebab keterbelahan ini.

Antara Seno dan Tohari
Tatkala melintas kabar bahwa novel ini berlatar sejarah sengketa DI/TII – TNI, muncul pertanyaan saya sebelum membaca. Bagaimana Faisal Oddang mengolah materi sejarah menjadi latar yang ciamik? Harus saya akui, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari masih menjadi novel ideal bagi saya untuk menjawab pertanyaan soal bagaimana latar sejarah diramu menjadi bahan menarik. Apakah bisa menyamai atau mendekati cara Ahmad Tohari?

Ketika menelusuri halaman per halaman TSB, hasil pindaian saya mengesankan bahwa formula Seno Gumira Ajidarma saat memasukkan kesaksian dan laporan jurnalistik tentang rentetan kejadian Insiden Dili, Timor Timur dalam cerita-cerita dalam Jazz, Parfum, dan Insiden bisa tercium dalam novel ini. 

Seno memasukkan reportase jurnalis yang harus tercampak di keranjang sampah meja penyuntingan media-media di zaman Orde Baru (lih. Ajidarma, 2005:140-162.), Faisal memasukkan karya-karya ilmiah tentang bissu atau yang berkisah sejarah Indonesia pertengahan abad ke-20. 

Sekurangnya ada lima buku yang Faisal sebut dalam teks TSB, yakni [a] Pemberontakan Kahar Muzakkar dari Tradisi ke DI/TII (buku) dan Tradition, Islam and Rebellion: South Sulawesi 1950-1965 (disertasi) karya Barbara Sillars Harvey; [b] Bissu: Pergulatan & Perannya di Masyarakat Bugis karya Halilintar Latief; [c] Peristiwa Sulawesi Selatan 1950 – Mayor Bardosono; [d] Kekerasan Budaya Pasca 1965 – Wijaya Herlambang; [e] Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar – Yerry Wirawan.

Fiksi dan Fakta
Mari bersetuju dengan Seno bentangan kemungkinan yang ditawarkan oleh sastra, “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara”, yang tampak dalam beberapa yang sempat saya catat, antara lain tentang bisik-bisik tentang komunitas bissu soal bagaimana orientasi seks mereka dirinci oleh Faisal (hal. 93); tentang Pantai Losari Makassar yang direklamasi (hal. 149), persoalan yang disoroti banyak kalangan di Makassar; sampai percobaan memasukkan paham komunisme sebagai landasan gerak DI/TII (hal. 111-113).

Ketiga hal itu makin mengukuhkan bagaimana cerita (story) lebih leluasa merinci ketimbang tuturan sejarah (history). Saya baru saja mendengar cerita yang disebut sekilas di halaman 113. 

Novel ini mengisi ruang yang sudah lama kosong dalam karya sastra yang berlatar sejarah Sulawesi Selatan. Karya Faisal Oddang ini terbit setelah tujuh tahun rilisnya Perang Makassar 1669: Prahara Benteng Somba Opu karya SM Noor (Kompas, 2011), dan nyaris tiga puluh tahun. Keduanya pun cukup berjarak tahun dari Sang Penasihat (1990) dan Sang Jenderal (1991) karya Fredericy.

Tampaknya Faisal Oddang berhasil menyuguhkan sehidang cerita yang lama ditunggu tentang khasanah sejarah seperti ini. Ia mengingatkan kita pada Ahmad Tohari, tentu dengan cara yang berbeda.[]

Judul: Tiba Sebelum Berangkat
Penulis: Faisal Oddang
Tahun: April 2018
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Ukuran: vi + 216 halaman; 13,5 x 20 cm
ISBN: 978-602-424-351-7

*terbit di Harian Kompas, 29 September 2018

Komentar

  1. Sebenarnya, ada karya Pepy Al Bayquni juga yang judulnya Calabai, di sana diceritakan tentang Bissu ☺️

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih banyak infonya, Hasvirah. Saya coba cari bukunya :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer