Jelaga Empat Puluh Tahun


LAGU “Sulawesi Pa’rasanganta” ciptaan B Mandjia sudah menjadi ungkapan dan kata ganti yang awam untuk merujuk wilayah di bagian selatan Pulau Sulawesi. Ia pun berubah sebagai identitas daerah lantaran liriknya berbahasa Makassar, dilantunkan dengan tempo andante, lantas menjelma layaknya lambaian tangan ibu yang memanggil pulang [kampung]:  

Sulawesi pa’rasangantabutta passolongan cerattaanjjari tanggungang malompo/ikkate tuma‘ buttaya/ punna tenaki sipainganaki massing massing ngu’ranginaammang sannang salewangang/ tamakulle amang borittacini’ sai bori bellaya/ bella mamo kemajuannate’ne mamo julu bangsana/ amang sannang pa’rasanganasambori sang pa’rasanganta/ baji maki ajjulu atina amang sannang salewangang Sulawesi pa’rasanganta

(Sulawesi kampung halaman kita/ tanah tumpah darah kita/ menjadi tanggung jawab besar/ bagi kita masyarakatnya/ Bila tak saling mengingatkan/ dan masing-masing sadar/ amannya tanah tumpah darah/ tidak akan aman kampung halaman kita/ Lihat kampung nun di sana/ sudah jauh kemajuannya/ Persatuannya yang kuat/ aman tenteram daerahnya/ Wahai teman sedaerah/ baiknya kita satukan hati/ Sehingga aman tenteram dan sejahtera Sulawesi kampung kita.

Judul lagu ini pula menjadi tema pameran karya perupa Sulawesi Selatan yang berlangsung 10-20 Januari 2019 di Bentara Budaya, Jakarta. Ekshibisi bersama kali ini merupakan pameran kedua perupa dari wilayah sama di galeri serupa dengan jarak lima belas tahun (2003). 

Namun antara waktu lima belas tahun dan tema pameran tak dimungkiri meletupkan pula beberapa hal. Rentangan masa ini bisa menjadi semacam beban bagi para perupa di pameran ini. Unsur ini menjelma sebagai satu patokan bagaimana hendak menyajikan karya-karya apa saja yang menjadi wajah perkembangan seni rupa di Sulawesi Selatan. Rentang masa tersebut, sadar atau tidak, berubah layaknya momok pertanyaan dalam benak perantau yang hendak pulang, ‘apakah mereka sudah layak pulang?’.

Pada sisi lain, tema ini juga sangat mungkin kita ibaratkan sebagai pedang bermata dua. Ia bukan hanya bisa ‘melukai’ tangan para perupa Sulawesi Selatan, tapi juga ‘mengiris’ tangan khalayak umum. Bila tak hati-hati memegangnya, keduanya bisa terluka. Luka yang bisa berawal dari perihal yang bernama tafsir. 


TAFSIR awal seniman yang mengemuka tentang tema ini bisa menggiring mereka mengumpulkan karya-karya yang menampakkan citra Sulawesi Selatan yang figuratif. Bagaimana pun ikatan gagasan mereka tertambat kuat pada jangkar kesan yang muncul kala mereka menyebut “Sulawesi Pa’rasanganta”, lagu yang melantunkan ajakan untuk menciptakan “kampung halaman yang aman dan tenteram”.

Warisan cara berpikir rezim pemerintahan mungkin bisa menjadi salah satu sebab yang berkaitan dengan ini. Lagu “Sulawesi Pa’rasanganta” acap kali muncul sebagai salah satu lagu daerah yang kerap dinyanyikan untuk sesi hiburan dalam berbagai acara formal (pemerintahan) sejak masa pemerintahan Soeharto. Bahkan menjadi bagian materi pengajaran kesenian di sekolah-sekolah. 

Sebagai lagu yang disajikan dalam suasana resmi Orde Baru, terbuka pula kemungkinan terjadinya pembentukan makna yang mengarahkan persepsi pada pemahaman seni dan budaya yang dianut oleh pemerintah zaman itu sebagai sesuatu yang menampak di permukaan.[1]Definisi seni dan kebudayaan bagi rezim pengusung kestabilan ini tak pernah jauh dari upaya memunculkan potongan-potongan yang disebut sebagai representasi kenyataan “kampung halaman” pada lapis pertama, persoalan yang didorong oleh wacana sentralistik. Bahkan Acciaioli, dengan cenderung ketus, menyatakan bahwa keragaman daerah dihargai, dihormati, dan disanjung namun hanya sebagai tontonan, bukan keyakinan; [sebagai] pertunjukan, bukan pelaksanaan [ritual].[2]Seni dan kebudayaan pun menjadi sesuatu yang menampak di brosur pariwisata—sebagaimana pula yang masih awam di situs daring (online) pemerintah provinsi dan kabupaten hingga sekarang.
Berdasarkan beberapa kali wawancara mendalam dengan sejumlah seniman, mereka pun mengakui bahwa respons awal mereka terhadap tema ini sebagaimana yang sudah diduga tadi. Beberapa karya yang sempat terkumpul pun menampakkan hal-hal yang berkaitan dengan representasi citra yang kemudian oleh James Clifford (1986) sebagai “kebenaran sepihak (partial truth)”. 

DEMIKIANLAH jelaga warisan cara berpikir Orde Baru yang hingga kini menggelayut dalam jagat seni rupa Sulawesi Selatan. Semua ini berawal empat puluhan tahun silam, tepatnya awal dasawarsa 1970, ketika pemerintah Indonesia secara aktif mempromosikan tujuan wisata di Indonesia, termasuk Tana Toraja, dan berhasil menarik kunjungan lebih banyak ke dataran tinggi di bagian utara Sulawesi Selatan. Nama Tana Toraja pun semerbak dalam kesadaran pariwisata tingkat nasional (dan internasional) pada 1984 tatkala Joop Ave, Dirjen Pariwisata Indonesia, mendeklarasikan Tana Toraja sebagai “tujuan wisata primadona Sulawesi Selatan” dan Makassar menjadi “Pintu gerbang ke Tana Toraja”. Kunjungan turis setelah momentum itu cenderung menanjak dibanding sebelum 1984 yang lebih fluktuatif.[3]

Keadaan itu jelas sebentuk harapan bagi perupa Sulawesi Selatan kala itu. Dunia seni rupa wilayah ini, yang tak memiliki kolektor partikelir, hanya mengandalkan pesanan dari kolektor kalangan pejabat pemerintahan, militer, dan kantor-kantor BUMN/swasta, ikut mendulang kesempatan dalam pertumbuhan pariwisata lewat peluang pengoleksian dari kalangan turis.[4] Namun tentu kenyataan tentang ‘lukisan pesanan’ menjadi sebuah kenyataan hidup yang tidak boleh dilupakan manakala orang ingin mengetahui lebih mendalam tentang segi-segi yang mempengaruhi perkembangan seni di suatu daerah.[5]Dengan demikian, lapisan konsumen-konsumen inilah yang menjadi salah satu penentu proses dan citra yang muncul di permukaan kanvas para seniman kawasan ini.

Jejak-jejak masa empat puluhan tahun itu masih bisa kita pindai, kendati dalam 29 karya dari 22 perupa di pameran ini tak mendominasi lagi. Dalam karya-karya dwimatra dan trimatra yang meliputi jenis karikatur, drawing, lukis, hingga instalasi menampakkan keadaan-keadaan yang hendak mereka tampik atau dalam perubahan-perubahan yang kini sedang berlangsung di dunia seni rupa Sulawesi Selatan. Di berbagai medium itulah deretan karya ini menunjukkan penegasan-penegasan dari sikap mereka bahwa seni rupa jalan hidup yang harus ditelusuri dengan keras kepala.

Ada yang membawa refleksi pergulatan dalam-diri sang seniman, juga respons mereka terhadap situasi mutakhir yang mereka hadapi di luar-diri, tempat mereka tumbuh dan berkarya. Achmad Fauzi membawa karya berjudul Angaru' di Sudut Benteng(2018), pemaknaan atas keteguhan dan keyakinan hati yang kokoh, spirit yang senantiasa hadir dalam jiwa manusia menghadapi setiap persoalan hidup. Demikian pula Ahmad Anzul membawa karya garapannya The Way (2018), yang merupakan seri Kampung Garam #149. Anzul menceritakan tentang jalan yang dipilihnya ketika sianre bale(Bugis: saling memangsa) terjadi. “Pada situasi tertentu, saya merasa dipaksa untuk menjadi kupu-kupu berbadan pisau silet, perahu kertas, atau memilih jalan yang sunyi.” 

AH Rimba mengantar karya potretnya Toraja Smiling(2017) yang melukiskan seorang pria Toraja tersenyum, simbolisme dari pernyataannya bagaimana kini Rimba menghadapi hidupnya setelah bergulat dengan banyak hal. Budi Haryawan dengan Hallelujah (My Name is Me. And I live on Roof Top Floor) [2018] menuturkan bagaimana pergulatan hidupnya sebagai anugerah yang patut disyukuri. Jenry Pasassan dengan karya instalasi Angel Sing(2018) menceritakan bagaimana manusia seharusnya bersikap lentur dan pada saat yang sama harus kokoh menghadapi perubahan dalam-diri dan perubahan luar-diri. Faisal Syarif menyajikan instalasi Glory of Love Series (2018), sekaligus seni terapi (art therapy) bagi Faisal dalam menyelami alam bawah sadarnya, yang dalam prosesnya kemudian masa lalu bermunculan dan beberapa kali menghasilkan gambar-gambar yang menurutnya seram. Namun kemunculan hal-hal yang mengendap itu kemudian tergantikan dengan perasaan yang sebaliknya. “Akar permasalahan diri, orang lain, dan sosial dimulai dari sesuatu yang harus kita temukan dalam diri kita,” katanya. 

Kalangan perupa muda seperti Muhammad Suyudi membawa lukisan My Greatest Indonesian of All(2017) penghormatan untuk ayahnya. Aryo Bayu menghadirkan karya simbolik yang menggambarkan memudarnya perahu pinisi dalam Sekarat(2018). Ini seperti mengajak kita membincangkan tentang keadaan yang perlu direnungkan bersama tentang pinisi, simbol dari kekayaan intelektual masyarakat Bulukumba, Sulawesi Selatan, yang kian bisa tergerus. Daniel dengan karya Mayat Berjalan (2017) membawa kabar tentang kampung halamannya di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. 

Awaluddin Tahir membawa Kehidupan Kanal (2018), lukisan yang memotret kehidupan permukiman di Kota Makassar yang hendak membicarakan soal sanitasi, sampah, dan kebersihan kanal. Firman Djamil membawa karya seri kepitingnya berjudul Penunggang Celeng (2011). Lukisan ini adalah penggambaran Firman tentang hasil pengamatannya terhadap keadaan dunia politik Indonesia pada tahun-tahun awal dasawarsa 2010, terutama berkaitan dengan kasus penggelapan pajak dengan tokoh Gayus Tambunan. Sementara pula, Thamrin M, karya berjudul Yang Tersisa (2018) melukiskan kegelisahannya perihal huruf lontarak, aksara suku Bugis dan Makassar yang dipandangnya mulai ditinggalkan dan mungkin akan terlupakan.

Sys Paindow dengan karya Pa’manuk Londong Come Out from Tongkonan (2018), terinspirasi Pabbite Jangangkarya Marthen Pattilima, pelukis legendaris Makassar, dengan mengangkatnya lagi dalam versi Toraja dengan fantasi ayam dalam ukiran Toraja di atas morif pa’barre allo(matahari terbit) keluar dari tongkonanlalu beradu.

Inno Angga dengan karya Labeled (2018)melukiskan dialektika antara kepercayaan dan tradisi telah menghasilkan beberapa konvensi yang kerap menimbulkan pergesekan di antara keduanya. Hal ini ditandai adanya pro dan kontra pada masing-masing cara pandang yang ingin menunjukkan eksistensi dengan berbagai argumen yang prinsipil. Dialog yang masih berjalan ini kerap kali harus bersintesis dalam sebuah kemasan yang disebut modernisasi. Produk yang dihasilkan pun ternyata belum sepenuhnya mewadahi identitas yang telah lama melekat pada masyarakat tradisi. Akhirnya kebenaran pun harus dicari melalui pembenaran-pembenaran ambigu yang tanpa harus mengorbankan salah satunya.

Dua perupa perempuan ikut berpameran membawa masing-masing satu karya. Lenny Ratnasari Weichert mempresentasikan karya instalasi berjudul Anaerobik (2017), membincangkan gagasan tentang pernapasan tanpa udara dalam ruangan fermentasi yang berhubungan dengan proses produksi energi dalam sel anaerobik (tanpa oksigen). Sedang Marledy Kadang membawa The Story of Halter Neck White (2018). Ia memilih spanram sebagai bahan eksplorasi. Konsep ini bermula ketika Ledy melihat tumpukan spanram yang menanti untuk tertutup kanvas. Seketika ia bersemangat mencoba mengeksplor bentuk yang bisa dihasilkan spanram tersebut. 

Mike Turusy membawa karya-karya khasnya yang terinspirasi tau-tau(patung pekuburan Toraja) dan penuh detail menuturkan ulang satu hikayat masyarakat Sulawesi Selatan dalam Kerbau Bulan [The Legend] (2014), Made in Tanaberu (2017), dan Pemahat [Mengukir Diri](2017). Demikian pula Faisal UA, perupa Makassar yang mengkhususkan karyanya ke karikatur. Faisal membawa The Glimmer Twins from Makassar(2018) menggabung khasanah alat-alat musik tradisional dengan sosok komikal Mick Jagger dan Keith Richards (The Rolling Stones). Zainal Beta dengan karya Nelayan dan Paraga(2018), dua karya lukisan tanah liatnya.

Sementara itu, kalangan seniman senior banyak memunculkan petuah-petuah seperti Abdul Aziz Ahmad, perupa drawingyang membawa karya Resofa Temangngingi(2018) mengingatkan pepatah Bugis “resopa temmangingi na malopo naletei pammase dewata(hanya dengan bekerja keras kita diberkahi rahmat Yang Maha Kuasa)”; Abdul Kahar Wahid, pelukis berusia 81 tahun, membawa tiga karyanya: Pencerahan (2018),Waspada Tsunami(2018), dan Jodoh Tak Perlu Dicari(2018); Benny Subiantoro, Bagan Tiga (2016) menceritakan kehidupan nelayan; dan Bachtiar Hafid karya Maccello(2016), melukiskan adegan mewarnai baju bodo, pakaian tradisional perempuan Sulawesi Selatan. 


BERKUTAT (lagi) di pekatnya jelaga yang berdiam empat puluh tahunan itulah yang hendak dihindari oleh pameran ini. Sebagai ruang pengabaran sepenggal perkembangan kancah seni rupa, karya-karya dalam “Sulawesi Pa’rasanganta”berusaha dengan sangat keras melompati apa yang berulang kali menampak pula di pameran-pameran (yang ini pun jarang) baik di Makassar maupun di wilayah Indonesia Timur lainnya. 

Karya 22 perupa ini sedang bersiasat melepaskan diri dari citra-citra yang ingin ditampakkan pada perkembangan masa-masa sebelumnya; rentang waktu ketika tancapan tafsir kekayaaan budaya hanya hadir pada lapisan pertama. Sebagai wahana proses yang membangun dunia seni rupa Sulawesi Selatan selanjutnya, mereka membawa gagasan, nilai, dan pernyataan dalam “Sulawesi Pa’rasanganta” tentang kenyataan baru, singkapan yang lain, lapis potongan-potongan kedua dan seterusnya, atau situasi mutakhir fisik dan lingkungan “kampung halaman“ (pa’rasangan) yang kini mereka hadapi—secara personal maupun komunal. 

Di dalam pameran ini, tampaknya kita bisa berpegang kuat bahwa gagasan dan sikap yang tersaji sekarang perihal bagaimana sebaiknya kehidupan seni rupa Sulawesi Selatan berikutnya, bahkan setelah mereka. Ini upaya membersihkan jelaga yang bermula empat puluh tahun lalu itu dan terus menggayuti alam berpikir manusia Indonesia.[]

(Tulisan ini adalah pengantar kuratorial untuk pameran "Sulawesi Pa'rasanganta", ekshibisi karya perupa Sulawesi Selatan di Bentara Budaya, Jakarta, 10-19 Januari 2019).


[1]R. Anderson Sutton, Pakkurru Sumange’: Musik, Tari, dan Politik Kebudayaan Sulawesi Selatan(penj. Anwar Jimpe Rachman), Makassar: Ininnawa, 2013, hl. 35.
[2]Acciaioli dalam Ibid, hl. 92 dan 102.
[3]Kathleen Adams, Art as Politics: Re-crafting Identities, Tourism, and Power in Tana Toraja, Indonesia, University of Hawai’i Press, Honolulu, 2006, hl. 14. Untuk data kunjungan wisatawan, lihat tabel halaman 17.
[4]Wawancara Ahmad Anzul (29 Desember 2018) dan Mike Turusy (31 Desember 2018).
[5]Sofyan Salam, “Menelusuri Perjalanan Seni Rupa Sulawesi Selatan”, Katalog Pameran Bentara 2003, t.h.

Komentar

Postingan Populer