Pantun di Tengah Guncangan

Kalau Anda belum tahu bagaimana kekuatan baris-baris pantun menyatukan dan menenangkan orang melawan kegentaran mereka, berikut kisah pendek yang saya dengar langsung dari penuturnya, Eliza Kissya, kepala kewang Negeri Haruku, Maluku.

Menjelang pembukaan ritual buka Sasi Lompa pada 2019, gempa tiba-tiba mengguncang Pulau Haruku dan sekitarnya. Skalanya kecil. Orang-orang berlarian. Eliza Kissya, pemimpin ritual itu segera melemparkan selarik pantun: 


Negeri Haruku katong pung tanah 

Katong samua paling suka 

Biar katong dilanda bencana

Sasi lompa tetap dibuka


Mendengar pantun itu, orang-orang yang tadinya menghambur berkumpul lagi. Tifa ditabuh lagi. Lebih keras lagi. Sasi Lompa, tradisi tahunan orang-orang di Negeri Haruku di Maluku Tengah, dibuka. Warga segera memanen persediaan protein mereka.

Pantun dan 'Harukulele' Om Eli di baju oblong seorang gadis kecil penumpang speedboat menuju Tulehu. (Foto: Anwar Jimpe Rachman)

“Itu (pantun) tercipta begitu saja saat itu,” ujar Om Eli, panggilan karib saya pada Eliza Kissya. Itu sering juga saya dapati bila berbincang dan berkelakar dengannya. Rupanya dorongan menciptakan pantun itu tidak hanya muncul waktu bersantai, melainkan juga saat terdesak.


Eliza Kissya memang dikenal bukan cuma pelestari lingkungan hidup yang menghantarkannya menerima Kalpataru pada 1985 dan Satyalencana Pembangunan (1999) dan Maestro Seni Tradisi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (2017). Lelaki sepuh kelahiran 12 Maret 1949 ini juga melestarikan tradisi pantun yang mendorong Kantor Bahasa Provinsi Maluku menganugerahinya Pegiat Sastra di Maluku (2017). Larik-larik pantun ciptaannya telah dibukukan dalam Kapata Kewang Haruku & Sasi Aman Haru-ukui (Ininnawa - Layar Nusa, 2013). 


Negeri Haruku sejak lama dikenal dengan upacara buka Sasi Lompa yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-17. Istilah Sasi bermakna larangan adat dalam waktu tertentu untuk mengambil sesuatu dari alam, sedang lompa adalah nama setempat untuk sejenis ikan sarden kecil atau ikan tembang. Saban tahun, Om Eli memimpin ritual ini karena tugasnya sebagai kepala kewang (polisi adat).


Om Eli juga selalu bawakan pantun dalam acara formal di banyak tempat di Nusantara. Dalam satu video yang ditunjukkannya, Om Eli melantangkan pantun-pantun menyelingi lagu-lagu Maluku yang dibawakan dengan iringan ukulelenya. (“Ini Harukulele!” katanya, terkekeh. Om Eli agaknya benar juga karena instrumen itu dibuat khusus oleh Benny Kissya, salah seorang putranya, berbahan kayu utuh [tanpa sambungan] dan bersenar tali pancing—bukan senar ukulele!).


Sebelum gelaran upacara Sasi Lompa pada 2019 itu, tanah goyang—istilah setempat untuk menyebut gempa—berskala kecil memang sering menggetarkan Pulau Haruku dan sekitarnya, terutama sejak terjadi gempa 6,8 SR pada 26 September 2019 akibat gerakan sesar sepanjang 42 kilometer yang berbaring di Selat Haruku, laut yang mengantarai Pulau Ambon dan Pulau Haruku. Catatan BMKG yang dilansir Pikiran Rakyat, terjadi 3089 kali gempa susulan setelah guncangan utama itu.


Kejadiannya jam sepuluhan pagi. Benny masih tidur. Ia tak hirau moncong anjing-anjingnya menciuminya. Insting peliharaannya yang mengendus getaran bahaya gempa sebelum datang berusaha membangunkan Benny. Tatkala guncangan-guncangan itu terjadi, semua anjing peliharaannya itu sudah duluan mengungsi di ketinggian.


“Itu seperti di film-film. Seperti ada makhluk di bawah pasir. Pasirnya bergejolak. Bergerak... menjalar! Terangkat seperti dihambur! Motor juga terangkat beberapa kali. Barang-barang jatuh. Mama (Liz) yang lagi minum teh juga terjatuh,” cerita Benny.


“Kami keluar kelas. Guruku pingsan!” tutur Emil, cucu Om Eli, yang ketika itu sedang ujian nasional menjelang kelulusan SMP-nya.


Guncangan skala enam jelas memporandakan bangunan. Warga melarikan diri ke daerah tinggi. Orang-orang takut kalau-kalau ada tsunami. Memori tentang air naik turun (tsunami) karena gempa 7,6 SR di Laut Banda, tepat di selatan Pulau Ambon, pada 8 Oktober 1950 silam masih hidup dalam cerita manusia-manusia yang hidup di Pulau Ambon dan sekitarnya.[1]


Usai gempa besar 2019, ada beberapa hal yang belum bisa kembali ke sedia kala. Walau setelah gempa tidak ada air naik turun, beberapa warga enggan kembali ke negeri (desa) asal meski sudah setahunan pasca kejadian. Gereja Eben Haezer Negeri Haruku yang dibangun selama 15 tahun dan sebelum gempa baru dipakai delapan bulan kini dibiar sementara karena rusak (dan belum diperbaiki karena yang mengerjakannya dulu adalah tukang dari luar Haruku). Penduduk negeri membangun tempat ibadat darurat di pinggir pantai beratap berdinding daun sagu dan terpal, tepat depan gereja bermenara retak dan beberapa bagian atap tampak copot itu.


“Untung kejadiannya siang. Mungkin kalau malam, banyak orang yang korban kena bangunan runtuh,” kata Benny. 


“Untung tidak banyak orang jatuh dari pohon cengkeh karena kejadiannya pas panen cengkeh,” terang Clifford Kissya, kakak Benny. Tapi, lanjut Cliff, akibatnya banyak pohon-pohon cengkeh rusak sebab tidak sempat dipanen lantaran warga keburu mengungsi dan enggan kembali.


Bantuan pun baru bisa datang beberapa hari setelah kejadian. Menurut Gatra, bantuan pemerintah hanya terdistribusi di Kantor Kecamatan Haruku dua hari setelah kejadian. “Orang-orang ketika itu masih takut menyeberang ke Haruku. Sayuran dan kasbi (ubi kayu) yang ditanam di kebun orang diambil pengungsi untuk mengisi perut,” kenang Cliff. 

 


SELAMA tujuh tahun saya terus menyimpan keinginan ke Pulau Haruku, meski beruntung dua kali sambangi nusa yang terletak sekisar tujuh kilometer di timur Pulau Ambon ini pada 2013. Akhir Desember 2020, saya bisa ke sana lagi meski hanya sehari semalam—sebenarnya tak cukup 24 jam; tiba siang dan harus balik lagi ke Ambon jam sepuluhan pagi karena kepalang janjian dengan kawan. Ya, kedatangan saya benar-benar hanya ingin melepas kangen pada keluarga Om Eli dan Tante Liz. 

Tante Liz, Patricia, Emil, Benny, dan Om Eli. (Foto: Anwar Jimpe Rachman)

Saya mendarat di Ambon 25 Desember pagi. Sayang sekali tidak bisa saya saksikan suasana Natal malam sebelumnya, meski suasananya masih saya temui hari-hari setelahnya. Keharusan mengurus surat keterangan bebas COVID ditambah cuaca Makassar yang sangat basah dan sempat merendam rumah saya membuat saya harus menunda keberangkatan beberapa hari. Ambon dan sekitarnya rupanya juga tersiram hujan. Bahkan Om Eli menelepon saya mewanti-wanti untuk menyeberang agak pagi untuk hindari angin yang bertiup kencang ke Tulehu, Haruku, dan sekitarnya. Berbeda pengalaman saya tujuh tahun lalu: November sangat terik. 


Tak banyak berubah di Negeri Haruku. Namun jarak tujuh tahun tentu saja menyadarkan saya tentang perubahan-perubahan manusianya. Om Eli dan Tante Liz sudah berkepala tujuh, tapi keduanya tetap tegap dan sigap seperti dulu. Tante Liz masih menerima pesanan jahitan juga memasak untuk sekeluarga dibantu dua cucunya, Patricia dan Emil—yang bersekolah di SMK di Ambon dan sedang libur Natal. Hanya mata kanan Om Eli agak kabur karena katarak. Om Eli ingin operasi tapi enggan ikut operasi massal. “Takutnya dioperasi tapi tidak teliti (karena banyak orang mengantri).” 


Malamnya, di ruang makan yang bersampingan muara Sungai Learisa Kayeli, usai berdoa dipimpin seorang pengurus gereja setempat memohon kebaikan-kebaikan dan berterima kasih pada Tuhan atas usia barunya (satu tradisi keluarga Kissya), Benny dengan suara direndahkan menceritakan pada saya rencana-rencana baiknya pada 2021. Saya (sementara) hanya bisa ikut mendoakan agar semuanya berjalan baik. 


Lalu ditemani Emil, saya berjalan ke utara mendatangi Cliff. Saya melepas kangen. Kami berbincang sore sampai malam di beranda rumahnya. Rupanya, hampir setahun terakhir, Cliff menjadi sekretaris desa, tugas yang diterimanya setelah tiga kali menolak lamaran Bapak Raja (kepala desa). 


“Wah, sudah pamali kalau ditolak tiga kali!” seru saya. Kami tertawa. 


Selama itu juga, ia merapikan data-data desanya biar, semisal, bantuan pemerintah bisa tepat sasaran. Tak ada lagi warga yang nanti merasa dirugikan atau menuntut lebih karena keputusannya berbasis data. “Tentu tetap ada ketidakpuasan, tapi minimal tidak seperti dulu,” katanya.


Kabar baik lain bahwa Cliff yang juga urun kerja di Bumdes sedang menggarap dan mengemas penganan yang disebut sagu kasbi. Itu adalah parutan ubi kayu yang dibentuk menjadi lempeng dan dipasarkan di Ambon dan sekitarnya. Makanan itu bisa disajikan saat sore menemani nikmat teh dan kopi atau, seperti cara yang saya lakukan, untuk makan malam yang ringan dengan mencampurnya dan merendamnya dalam masakan berkuah. Sayangnya, permintaaan konsumen dari Kota Ambon tidak semua bisa terpenuhi. Cliff juga tampak tidak begitu ngotot untuk memenuhinya, meski mesin parut dan mesin pemadatnya ada di Haruku. 

Sagu kasbi produksi Negeri Haruku (Foto: Anwar Jimpe Rachman)

Setelah tujuh tahun, yang berubah juga rupanya adalah harga cengkeh. Pada 2013, ketika saya banyak bercakap dengan Cliff kala penelitian Ekspedisi Cengkeh (Ininnawa – Layar Nusa, 2013), musimnya musim yang manise. Petani cengkeh dengan riang memetik cengkeh lantaran harga per kilogram berkisar di angka seratus ribu rupiah atau lebih. Kini harganya terjun sampai ke angka Rp50 ribu per kilogram. Bahkan pengepul membeli dari petani Rp40 ribuan/kg. Padahal panenan cengkeh sebenarnya sedang langka karena dampak gempa 2019. 


“Ya itu karena pengepul membaca bahwa pengungsi sangat butuh uang, jadi pasti mau melepas murah cengkeh mereka.”


Saya sadar, baru saja mendengar guncangan yang lain setelah gegar besar 26 September 2019. Kali ini, guncangannya bukan dari bawah tanah. 

 

Tulisan yang sekaitan:

1. Tiga Pintu Pulau Haruku

2. Buka Sasi Lompa dan Dua Hari Setelahnya





[1] Hamzah Latief et.al, Air Turun Naik di Tiga Negeri: Mengingat Tsunami Ambon 1950, Unesco – IOTIC (Indian Ocean Tsunami Information Centre), 2016.

Komentar

Postingan Populer